Suara.com - Perairan jernih dan destinasi wisata andalan Jakarta kembali tercemar oleh sampah kiriman. Fenomena tahunan ini kembali terjadi di Pulau Tidung, ketika ratusan ton sampah terbawa angin dan arus dari daratan Jakarta menuju kawasan pesisir pulau.
“Fenomena sampah kiriman ini bukan yang pertama. Jadi ada musimnya,” ujar Plt Sekretaris Kelurahan Pulau Tidung, Ari Prianto, Rabu (21/5/2025) dilansir ANTARA.
Menurut Ari, Pulau Tidung kerap menjadi titik akumulasi tumpukan sampah laut yang terbawa dari daratan. Jenisnya pun beragam, mulai dari kayu, plastik, kaleng, hingga kasur bekas yang merusak garis pantai dan pemandangan wisata.
Satuan tugas dari Suku Dinas Lingkungan Hidup (Sudin LH) Kepulauan Seribu langsung dikerahkan untuk membersihkan area terdampak. “Sampah mulai terlihat sejak 19 Mei akibat terdorong angin dan menumpuk di tepian pantai,” kata Azwar Hamid, Koordinator Lapangan Sudin LH.

Sebanyak 250 ton sampah telah diangkut dari tiga lokasi utama: kawasan Gedung Pembenihan KPKP, sekitar Kantor Kelurahan, dan destinasi wisata populer Jembatan Asmara. Sampah yang masih berada di tengah laut menunggu waktu untuk hanyut ke tepian, agar bisa segera dibersihkan.
Sampah Laut: Ancaman Serius yang Tak Mengenal Batas
Fenomena sampah kiriman di Pulau Tidung hanyalah satu potret dari krisis yang lebih besar: sampah laut atau marine debris. Berdasarkan data International Coastal Cleanup (2019), sampah yang terkumpul dari pantai dan laut mencapai 10,5 juta kilogram, dan 90% di antaranya berbahan plastik.
Laman resmi Waste4Change dan sejumlah lembaga internasional menyebutkan bahwa sampah laut bukan semata-mata hasil dari pembuangan langsung ke perairan, melainkan juga berasal dari aktivitas daratan seperti:
- Sampah yang hanyut dari sungai ke laut.
- Limbah dari kawasan industri dan permukiman.
- Aktivitas wisata, pelabuhan, dan perikanan.
Menurut NOAA dan UNEP, marine debris memiliki dua sumber utama: dari daratan dan dari laut itu sendiri, termasuk dari badai, angin kencang, hingga aktivitas nelayan. Bahkan, menurut UNEP, tidak ada satu pun wilayah laut di dunia yang benar-benar bebas dari ancaman sampah laut.
Baca Juga: PLN Tak Hanya Jual Listrik: Buktikan Komitmen Lingkungan dengan Kelola Sampah
Dampak Ekologis dan Ekonomi: Dari Laut ke Meja Makan Kita
Sampah laut tidak hanya merusak estetika pantai, tetapi juga mencederai ekosistem laut secara menyeluruh. Burung laut, ikan, hingga mamalia laut seperti paus dan penyu sering ditemukan mati akibat menelan atau terjerat plastik.
Laporan WWF Indonesia menunjukkan bahwa 25% spesies ikan laut kini mengandung mikroplastik, partikel berukuran lebih kecil dari 5mm yang berasal dari degradasi plastik di laut. Mikroplastik ini masuk ke rantai makanan manusia melalui plankton, ikan, hingga makanan laut lainnya yang kita konsumsi.
Selain dampak ekologis, kerugian ekonomi juga sangat besar. Berdasarkan data U.S. Fish and Wildlife Service, marine debris mengakibatkan peningkatan biaya pembersihan pantai, menurunkan citra wisata, mengganggu produksi perikanan, dan memengaruhi budidaya laut.
Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Sejak Perpres No. 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut diterbitkan, Indonesia menargetkan pengurangan sampah plastik di laut sebesar 70% pada tahun 2025.
Ini ditindaklanjuti dengan kolaborasi lintas kementerian, regulasi ketat, dan pelibatan masyarakat pesisir.