suara hijau

Padang Lamun dan Lahan Gambut: Aset Indonesia untuk Menangkal Perubahan Iklim

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Rabu, 21 Mei 2025 | 17:52 WIB
Padang Lamun dan Lahan Gambut: Aset Indonesia untuk Menangkal Perubahan Iklim
Karbon biru di Asia Tenggara (Photo by Smaart/Pexels)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di balik gelombang laut dan hamparan padang lamun di Asia Tenggara, tersimpan salah satu kekuatan alam paling tangguh dalam melawan krisis iklim: karbon biru. Apa itu karbon biru?

Karbon biru adalah karbon yang tersimpan di dalam ekosistem pesisir dan laut. Istilah ini mengacu pada karbon yang ditangkap oleh organisme laut dan disimpan dalam sedimen laut serta vegetasi pantai.

Ekosistem karbon biru utama meliputi mangrove (hutan bakau), padang lamun, dan rawa pasang surut termasuk gambut pesisir.

Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan berbunga yang hidup sepenuhnya di bawah air laut dan memiliki kemampuan tinggi menyerap karbon melalui fotosintesis.

Sementara gambut pesisir adalah jenis lahan basah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik kaya karbon, yang dapat menyimpan karbon hingga ribuan tahun jika tidak terganggu.

Menariknya, ekosistem karbon biru ini justru lebih efisien dalam menyerap dan menyimpan karbon dibandingkan hutan daratan. Namun, potensi besar ini masih tertahan oleh tantangan klasik yang tak kunjung tuntas, kesenjangan akses pembiayaan.

Hal itulah yang disoroti oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dalam peluncuran ASEAN Blue Carbon and Finance Profiling (ABCF) yang digelar di Jakarta, Rabu (21/5/2025).

“Persoalan pembiayaan selalu menjadi tantangan. UNDP telah bekerja di kawasan ini untuk mempromosikan cara-cara inovatif dalam menggalang pendanaan, baik dari pasar maupun pemerintah,” ujar Kepala Perwakilan UNDP Indonesia, Norimasa Shimomura, dilansir ANTARA.

Lamun dan Lahan Gambut Penyerap Karbon

Baca Juga: Sirine Bahaya Krisis Iklim Berbunyi Keras: Saatnya Pendidikan Jadi Garda Terdepan!

Ekosistem pesisir dan perairan tawar—termasuk padang lamun, hutan mangrove, dan lahan gambut—dianggap sebagai “sekutu tangguh” dalam menyerap karbon dioksida. Namun, perhatian terhadap mereka masih kalah dibanding hutan tropis daratan.

Padahal, lamun mampu menyerap karbon hingga 35 kali lebih cepat dibandingkan hutan hujan tropis. Sementara lahan gambut menyimpan dua kali lebih banyak karbon dibanding seluruh hutan di dunia. Dan kawasan ASEAN menjadi rumah bagi sepertiga padang lamun global dan hampir 40 persen lahan gambut tropis yang telah teridentifikasi.

Namun ironisnya, menurut Norimasa, kerusakan pada ekosistem ini justru menyumbang emisi dalam jumlah signifikan.

“Padang lamun yang rusak melepaskan emisi setara 3 persen dari deforestasi global, sementara lahan gambut yang terdegradasi menyumbang 4 persen dari emisi yang dihasilkan manusia secara global,” ujarnya.

Blue Carbon Profile

Melihat urgensi tersebut, UNDP bersama Pemerintah Jepang dan ASEAN Coordinating Task Force on Blue Economy meluncurkan proyek ASEAN Blue Carbon and Finance Profiling (ABCF). Inisiatif ini bertujuan menyusun Blue Carbon Profile dan Blue Finance Profile bagi negara-negara ASEAN.

Dalam beberapa tahun ke depan, UNDP akan bekerja sama dengan mitra untuk:

Mengembangkan Blue Carbon Profile menggunakan sains terkini, teknologi bersertifikasi, dan penilaian lapangan.

Menyusun Blue Finance Profile untuk membantu negara ASEAN mengakses pembiayaan berkelanjutan.

“Di Indonesia, kami telah mendukung pemerintah dalam penerbitan blue bonds, obligasi hijau syariah, serta pengembangan berbagai instrumen keuangan hijau lainnya,” tutur Norimasa.

Selain itu, UNDP juga berencana membentuk jaringan regional para ahli karbon biru untuk memperkuat kolaborasi dan membangun kapasitas jangka panjang, dengan memastikan partisipasi perempuan dalam prosesnya.

Asia Tenggara Kunci Karbon Biru Dunia

Wakil Sekretaris Jenderal ASEAN untuk Komunitas Ekonomi, Satvinder Singh, menambahkan bahwa kawasan ini memegang peran strategis dalam perlindungan karbon biru. Menurutnya, ekosistem mangrove, lamun, dan lahan basah pesisir menyimpan sekitar 7,5 miliar metrik ton karbon secara global—dan Asia Tenggara menyumbang lebih dari 60 persen karbon biru tropis pesisir dunia.

Namun tanpa perlindungan dan pembiayaan strategis, dunia berisiko kehilangan sekutu alam yang paling kuat dalam perang iklim.

“Proyek ABCF ini memberikan peluang nyata untuk menyelaraskan jalur pembangunan kita ke arah yang menghargai integritas ekologi, mendukung ketahanan iklim, dan memberdayakan masyarakat lokal sembari mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Singh.

Restorasi karbon biru bukan hanya soal konservasi alam, tapi juga tentang ekonomi, pembiayaan, dan keadilan iklim. Untuk kawasan yang kaya akan sumber daya pesisir seperti ASEAN, tantangan ini bisa menjadi peluang besar—asal didukung komitmen politik, ilmu pengetahuan, serta inovasi dalam sistem keuangan.

Sebagaimana disampaikan UNDP, selamatkan karbon biru bukan hanya menyelamatkan laut dan rawa, tetapi juga masa depan iklim global.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI