Suara.com - Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta, Muhammad Thamrin, meminta Dinas Pendidikan DKI Jakarta lebih tegas dalam mengawasi pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun ajaran 2025- 2026, khususnya terkait penerimaan melalui jalur mutasi.
Thamrin menyoroti potensi penyalahgunaan jalur tersebut oleh oknum tak bertanggung jawab.
Caranya adalah dengan memanipulasi surat tugas pindah dinas untuk memuluskan anaknya masuk ke sekolah negeri.
“Kadang-kadang dimainkan, ada yang tidak pindah tapi minta surat ke komandannya atau pimpinannya saja, seolah-olah pindah,” kata Thamrin dalam keterangannya, dikutip Senin (26/5/2025).
Ia mengingatkan, jalur mutasi seharusnya dimanfaatkan secara sah oleh keluarga yang memang mengalami perpindahan domisili karena tugas orang tua atau wali, bukan malah dijadikan celah untuk titipan.
“Ini harus bisa lebih tajam lagi. Saya ingin (keterangan) pindah tugas itu disertakan KK (kartu keluarga) lama dan KK barunya dia tinggal di mana supaya lebih terbukti," tegas Thamrin.
Dalam aturan terbaru, kuota penerimaan peserta didik baru lewat jalur mutasi kini dibatasi hanya tiga persen. Sebelumnya, pada sistem PPDB, kuota jalur mutasi mencapai lima persen.
Sebagai informasi, jalur mutasi ditujukan bagi anak dari orang tua atau wali yang berpindah tugas ke wilayah lain, termasuk anak guru dan tenaga kependidikan yang ingin mendaftar di sekolah tempat orang tuanya bertugas.
Proses pendaftaran jalur mutasi untuk jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK akan berlangsung mulai 16 Juni hingga 4 Juli 2025.
Baca Juga: Geledah Kantor Dinas Kebudayaan Jakarta, Kejati Sita Laptop, Ponsel, dan Uang Tunai
SPMB Gantikan PPDB: Sistem Baru dengan Banyak Perubahan
Sebelumnya Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, memperkenalkan SPMB sebagai pengganti PPDB. Menurutnya, sistem ini dirancang untuk meningkatkan transparansi dan memperbaiki berbagai persoalan teknis dalam penerimaan siswa baru.

Berikut perbedaan utama antara PPDB dan SPMB:
1. Zonasi Berganti Jadi Domisili
SPMB mengganti istilah zonasi dengan domisili. Tak hanya istilah, kuota juga diubah: SMP dari 50 persen menjadi 40 persen, SMA dari 50 persen menjadi 30 persen, sementara SD tetap 70 persen.
“Harapannya supaya multitafsir dari pelaksanaan aturan yang selama ini masih terjadi itu dapat kita minimalkan,” ujar Mu’ti.