suara hijau

IESR Nilai Komitmen Transisi Energi di RUPTL Masih Lemah, Perlu Arah Jelas dan Regulasi Kuat

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Rabu, 28 Mei 2025 | 08:58 WIB
IESR Nilai Komitmen Transisi Energi di RUPTL Masih Lemah, Perlu Arah Jelas dan Regulasi Kuat
Ilustrasi pemanfaatan energi terbarukan.(Unsplash.com/bombermoon)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) telah mengesahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034. Dokumen ini menetapkan penambahan kapasitas pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 42,6 GW dan sistem penyimpanan energi 10,3 GW.

Sekilas, angka ini terlihat ambisius. Namun, bagi kalangan pengamat dan organisasi advokasi energi seperti Institute for Essential Services Reform (IESR), rencana ini belum cukup menunjukkan keberanian untuk mewujudkan transisi energi yang adil dan mendalam.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menilai target energi terbarukan dalam RUPTL ini masih lebih rendah dibanding komitmen dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP), yaitu 56 GW pada 2030.

Ini menandakan bahwa pemerintah belum sepenuhnya menyelaraskan langkahnya dengan target iklim global, khususnya untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius sesuai Kesepakatan Paris.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa. (Dok. Istimewa)
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa. (Dok. Istimewa)

Selain itu, Fabby menyoroti buruknya performa eksekusi PLN dalam mewujudkan rencana sebelumnya. Dalam RUPTL 2021–2030, dari target 10 GW pembangkit yang seharusnya sudah mulai beroperasi, hanya 1,6 GW yang terealisasi hingga pertengahan 2025. Kegagalan ini banyak disebabkan oleh lambannya proses lelang pembangkit energi terbarukan dan negosiasi perjanjian jual beli listrik (PPA) yang bertele-tele.

“Salah satu faktor yang mengancam transisi energi Indonesia dan potensi krisis listrik beberapa tahun mendatang adalah ketidakmampuan PLN melakukan lelang pembangkit energi terbarukan dalam skala besar dalam waktu cepat, serta bertele-telenya proses negosiasi power purchase agreement (PPA). Akibatnya realisasi energi terbarukan rendah  dan keamanan pasokan listrik jangka panjang terancam,” kata Fabby.

Yang lebih mengkhawatirkan, RUPTL baru ini masih memuat penambahan pembangkit berbasis energi fosil: 10,3 GW gas dan 6,2 GW PLTU batu bara. Bahkan, terdapat 2,8 GW PLTU yang masih akan beroperasi pasca-2030, bertentangan dengan Perpres 112/2022 yang menargetkan penghentian seluruh PLTU pada 2050 untuk mendukung Net Zero Emission (NZE) 2060 atau lebih cepat.

Masuknya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dalam daftar juga menimbulkan pertanyaan serius karena belum adanya kerangka regulasi, risiko keselamatan tinggi, dan minimnya penerimaan publik.

IESR juga mempertanyakan ketergantungan PLN pada gas bumi yang pasokannya tidak stabil dan harganya fluktuatif. Saat ini saja, PLN sudah kesulitan mendapatkan pasokan gas yang cukup. Jika penggunaan gas meningkat drastis, maka ketahanan energi nasional bisa terganggu. Dalam situasi ini, memperluas pengembangan EBT dinilai sebagai opsi yang lebih andal dan berbiaya lebih rendah dalam jangka panjang.

Baca Juga: PLN IP Percepat Transisi Energi Bali Lewat PLTS Terapung Estetik di Muara Nusa Dua

“Saat ini pun PLN menghadapi kesulitan memenuhi ketersediaan gas untuk pembangkitnya. Jika kebutuhan meningkat dua hingga tiga kali lipat ke depan, ancaman dan risiko terhadap terpenuhinya kebutuhan gas PLN akan semakin besar. Dalam situasi ini, pengembangan energi terbarukan yang lebih besar menjadi pilihan yang lebih rendah risiko karena tidak hanya memperkuat keandalan sistem energi, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya biaya energi yang lebih terjangkau bagi masyarakat,” ujar Fabby.

Lebih lanjut, Program Manager Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo, menekankan perlunya mendorong keterlibatan swasta melalui skema seperti Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT).

PBJT diyakini bisa mempercepat investasi EBT, meringankan beban PLN, dan memperluas akses energi bersih bagi konsumen industri maupun publik. IESR telah memetakan potensi EBT hingga 333 GW yang secara finansial layak, dengan mayoritas proyek memiliki tingkat pengembalian investasi di atas 10%.

“Adanya kepastian terhadap PBJT akan memperluas opsi pengembangan energi terbarukan dan mendorong partisipasi swasta termasuk konsumen energi, sehingga dapat menarik investasi energi terbarukan. PBJT dapat diatur agar memberikan pendapatan tambahan yang dapat digunakan PLN untuk mengelola pengembangan jaringannya sehingga membantu pencapaian rencana RUPTL atau bahkan melampauinya,” ujar Deon.

Namun semua itu butuh komitmen kuat, kebijakan yang progresif, dan keberanian untuk meninggalkan ketergantungan pada energi fosil. Tanpa itu, transisi energi hanya akan jadi slogan, sementara krisis iklim dan potensi defisit listrik kian nyata.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI