Suara.com - Sudah tiga malam Warsinah tidur dengan bau air asin yang menyengat. Lantai rumahnya di RW 22, Muara Angke, selalu basah. Suara cipratan air di luar jendela tak pernah henti sejak pukul 11 malam, Rabu dini hari.
“Ini banjir sudah hari ketiga dan kami hanya bisa pasrah,” ucapnya lirih.
Sejak air laut naik, sekitar 200 rumah di RW 22 Kelurahan Pluit, Jakarta Utara, terendam banjir rob.
Tingginya mencapai 40 hingga 60 sentimeter. Di beberapa titik, genangan bahkan menelan jalan utama, membuat kendaraan praktis tak bisa melintas.
Erda, petugas dari Tim Reaksi Cepat BPBD DKI Jakarta, mengonfirmasi penyebabnya.
“Banjir ini terjadi akibat air laut pasang dan merendam 200 rumah warga di RW 22,” katanya. “Diprediksi akan terjadi hingga 31 Mei, puncaknya bisa sampai 60 sentimeter.”
Bukan hanya karena hujan, tapi juga karena "supermoon"—fenomena ketika bulan tampak lebih besar dan dekat dari biasanya. Gravitasi bulan yang meningkat mengangkat permukaan air laut lebih tinggi dari normal.
“Banjir ini disebabkan adanya fenomena supermoon yang menyebabkan air laut naik dan masuk ke kawasan ini,” tambah Erda.
Harapan Warsinah
Baca Juga: RI Bakal Punya Beton Hijau Tahan Ekstrem untuk Infrastruktur Pesisir
Fenomena ini bukan hal baru bagi Warsinah dan warga sekitar. Tapi setiap kali datang, banjir rob seperti ini selalu membawa lelah yang sama.
“Harus dibangun tembok di belakang sana,” tegas Warsinah. “Air laut yang tinggi masuk ke sini dan banjir. Kami sudah capek banjir terus.”
Tembok yang ia maksud adalah proyek tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall, yang lama dijanjikan tapi belum sepenuhnya terwujud di daerahnya.
Sementara itu, Kepala Satpel Pengolahan Data dan Informasi Kebencanaan BPBD DKI Jakarta, Kristian Gottam, mengingatkan warga untuk waspada.
“Selalu menjaga lingkungan di sekitar agar sampah tidak tergenang dan menjadi sumber penyakit,” ujarnya.
Rencana pemerintah
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menyatakan pembangunan Giant Sea Wall adalah langkah strategis untuk mengatasi banjir rob di wilayah pesisir.
“Bapak Presiden telah menugaskan kami untuk menyiapkan dan menjalankan pembangunan Giant Sea Wall sebagai upaya perlindungan pesisir sekaligus mitigasi banjir rob akibat abrasi dan penurunan tanah yang signifikan, mencapai 4 hingga 10 cm per tahun,” ujar AHY di Jakarta, Rabu.
Ia menegaskan, banjir bukan masalah baru, namun solusinya tidak bisa hanya mengulang pendekatan lama. Pemerintah, katanya, berkomitmen menjalankan langkah holistik, mulai dari perlindungan pesisir hingga pembenahan sistem air bersih.
“Dalam minggu-minggu terakhir, kita semua siaga, terutama di wilayah yang secara historis sering terdampak banjir, yaitu Jabodetabek. Kota Bekasi menjadi salah satu daerah yang terdampak paling parah, dengan 8 dari 12 kecamatan terendam, melumpuhkan aktivitas masyarakat, dan menyebabkan kerusakan infrastruktur,” kata AHY.
Salah satu penyebab utama penurunan tanah, tambahnya, adalah pemanfaatan air tanah berlebih. Karena itu, pemerintah mengupayakan optimalisasi suplai air bersih dari Waduk Jatiluhur dan Karian, serta pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), pengurangan kebocoran air, dan pemanfaatan air hujan.
“Langkah lain mencakup program Jakarta Sewerage System, penguatan IPAL komunal, dan perbaikan sanitasi masyarakat,” ucapnya.
Menurut AHY, perlindungan pantai akan membawa manfaat besar.

"Kita pastikan, jika kita berhasil melindungi pesisir pantai Jakarta dan Jawa, potensi kerugian akibat banjir bisa dihilangkan. Ini bisa bernilai miliaran dolar AS dalam 20–30 tahun ke depan, dan yang paling penting, menyelamatkan manusia," ujarnya.
Ia menambahkan, proyek Giant Sea Wall juga dirancang sebagai pengembangan kawasan ekonomi.
“Jadi, ini terintegrasi. Tidak hanya bicara lingkungan, tetapi juga pengembangan kawasan sehingga memiliki nilai tambah ekonomi yang menarik. Bukan hanya membuka lapangan pekerjaan, tetapi juga menarik investasi yang sangat kita perlukan," kata AHY.