Suara.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Erma Nuzulia Syifa mengungkapkan bahwa jumlah kasus korupsi pada pengadaan barang dan jasa mencapai ribuan sejak 2019 hingga 2023.
Hal itu dia sampaikan sekaligus untuk menanggapi Peraturan Presiden (Perpres) nomor 46 tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Temuan ICW menunjukkan ada 1.189 kasus korupsi dengan jumlah tersangka mencapai 2.898 orang terkait pengadaan barang dan jasa dalam periode 2019 hingga 2023.
“Mayoritas di antaranya itu adalah pejabat negara, baik itu dari kepala daerah maupun di kementerian, dan juga lembaga negara, kemudian juga dari pihak swasta, aparatur desa, dan juga pejabat BUMN dan BUMD,” kata Erma di Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (11/6/2025).
Lebih lanjut, dia juga menyebut meski jumlah kasus bisa dibilang stagnan, tetapi tetap terlihat peningkatan jumlah kasus korupsi pada pengadaan barang dan jasa setiap tahunnya pada 2019 hingga 2023.
“Misalnya di tahun 2019, itu ada 174 kasus, kemudian di 2020 ada 299 kasus, di 2021 ada 244 kasus, 2020 ada 236 kasus, dan juga di 2023 sebanyak 266,” ujar Erma.
Bukan hanya jumlah kasus, Erma mengungkapkan jumlah tersangka yang dijerat kasus korupsi pada pengadaan barang dan jasa juga terus meningkat.
Dari jumlah kasus tersebut, Erma menyebut total potensi kerugian keuangan negara mencapai Rp47,18 triliun.
“Di sisi lain, potensi suap mencapai Rp439,71 miliar, potensi pungutan liar sebesar Rp2,61 miliar, dan pencucian uang sebesar Rp279,77 miliar,” tandas Erma.
Baca Juga: Polemik Tambang di Raja Ampat Viral, DPR Segera Panggil Bahlil hingga Menteri LH Hanif Faisol
Perlu diketahui, ICW bersama Transparency International Indonesia (TII) menilai Perpres Nomor 46 Tahun 2025 memiliki sejumlah ketentuan yang bermasalah.
Misalnya ialah ketentuan tentang ambang batas pengadaan langsung yang memungkinkan transaksi bernilai Rp 400 juta dan maksimal Rp 100 miliar tanpa kewajiban tender terbuka.
Mereka menilai aturan ini tidak menunjukkan efisiensi, tetapi justru legalisasi penghindaran akuntabilitas. Aturan tersebut juga dianggap mengabaikan fakta hang menunjukkan bahwa kasus korupsi pada pengadaan barang dan jasa rentan terjadi.
Kemudian, ketentuan lain yang juga dipersoalkan ialah perluasan kriteria metode penunjukan langsung, termasuk di dalamnya dalam rangka pelaksanaan program prioritas pemerintah, bantuan pemerintah, dan/atau bantuan presiden.
ICW dan TII menilai kriteria tersebut akan melanggengkan benturan kepentingan yang rentan berujung pada korupsi karena tidak disertai dengan transparansi dan akuntabilitas pada aspek alasan penunjukan penyedia.
Mereka juga mempermasalahkan perluasan wewenang menteri sebagai pengguna anggaran dalam menyatakan program prioritas yang merupakan arahan presiden dan menetapkan penunjukan langsung dengan analisis yang sangat subjektif.
Hal lain lagi ialah pelemahan kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang akan berdampak kerugian pada pelaku usaha lokal serta perluasan pengadaan swakelola dan pengadaan yang dikecualikan, yang dianggap akan mengurangi peran kontrol publik di mana pelaksanaan pekerjaan dilakukan oleh internal dan minim informasi.
Ketentuan Pasal 77 tentang Pengawasan dan Pengaduan Publik tidak menekankan pada pelibatan masyarakat secara inklusif juga menjadi perhatian bagi ICW dan TII.
Lebih lanjut, ketentuan lain yang dianggap sebagai masalah ialah Pasal 78 tentang sanksi administratif yang dinilai tidak menunjukkan perbaikan nyata terhadap sistem pengawasan yang sudah lemah sejak awal.
Mereka juga menyoroti perluasan wewenang bagi Institusi lainnya dalam Pasal 86A untuk mengatur ketentuan lebih lanjut di luar dari ketentuan Perpres PBJ yang dinilai bisa meloncati proses yang sudah ada di dalam Perpres PBJ.
TII dan ICW menegaskan persoalan korupsi di pengadaan tidak dapat dibenahi hanya dengan Peraturan Presiden, melainkan dengan percepatan pembentukan Undang-Undang Pengadaan Publik. Proses pembuatan Undang-Undang melibatkan berbagai pihak, ketimbang Peraturan Presiden yang dinilai cenderung lebih tertutup dari partisipasi masyarakat.