suara hijau

Indonesia Targetkan Transisi Energi Bersih pada 2025, Mengapa Penting?

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Kamis, 12 Juni 2025 | 14:52 WIB
Indonesia Targetkan Transisi Energi Bersih pada 2025, Mengapa Penting?
Ilustrasi energi baru terbarukan (EBT). (ICDX)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemerintah Indonesia terus memantapkan langkahnya untuk menuju transisi energi bersih. Targetnya cukup ambisius: 23 persen bauran energi berasal dari energi baru terbarukan (EBT) pada 2025.

Langkah ini bukan hanya soal energi, tetapi juga tentang masa depan lingkungan dan ekonomi Indonesia.

Asisten Deputi Bidang Pengembangan Mineral dan Batubara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Herry Permana mengatakan, Indonesia fokus untuk mewujudkan target transisi energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025. Hal itu ia ungkapkan dalam tulis keterangannya seperti dikutip dari ANTARA, Kamis, (14/06/2025). 

Rencana itu tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dengan sejumlah agenda besar.

“Rencana pengembangan energi Indonesia, khususnya Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), berfokus pada peningkatan energi terbarukan dan transisi menuju bauran energi yang lebih bersih,” kata Herry.

“Sasaran utamanya meliputi pencapaian 23 persen energi terbarukan pada tahun 2025,” ujarnya.

Namun, tidak berhenti di angka itu. Pemerintah juga mematok 31 persen energi terbarukan pada tahun 2050. Lebih jauh, Indonesia berkomitmen menghentikan operasional pembangkit listrik tenaga batu bara pada 2040.

Langkah-langkah ini mendapatkan dukungan dari kemitraan internasional, salah satunya Just Energy Transition Partnership (JETP). Program ini menargetkan 44 persen energi terbarukan pada 2030, serta net zero emission sektor kelistrikan pada 2050.

“Elemen kunci dari rencana ini adalah pengembangan energi terbarukan, phase out batu bara, efisiensi energi, elektrifikasi, grid development, serta investasi dan pembiayaan dalam sektor ini,” kata Herry.

Baca Juga: Nelayan dan Petani Cilacap Manfaatkan Energi Ramah Lingkungan

Ia menekankan bahwa keberhasilan transisi energi tidak bisa dicapai sendiri. Kolaborasi adalah kunci.

“Diperlukan kebijakan dan strategi yang komprehensif dan mudah dilaksanakan bagi sistem pengelolaan pertambangan dan industri dari hulu sampai hilir,” tegasnya.

Transisi ini tidak hanya soal penggantian sumber energi. Ia menuntut sistem industri dan pertambangan yang lebih adil dan berkelanjutan, dari sisi ekonomi maupun ekologi.

Kegiatan di industri pertambangan, lanjut dia, serta energi secara keseluruhan juga perlu dipastikan berkelanjutan dan ramah lingkungan, menerapkan prinsip-prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) serta Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG), dengan pemanfaatan teknologi dan inovasi baru untuk orientasi ekspor.

Harapan akhirnya adalah pertumbuhan ekonomi nasional.

“Optimalisasi dari kolaborasi antara para pemangku kepentingan diperlukan, yang pada akhirnya bisa berkontribusi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen,” katanya.

Mengapa transisi energi penting?

Jalan menuju transisi energi memang tidak selalu mulus. Ahmad Rahma Wardhana, peneliti dan mahasiswa doktoral di Universitas Gadjah Mada, mengutip laporan IPCC yang menyebut 34 persen emisi gas rumah kaca (GRK) berasal dari sektor energi. Demikain tulisnya seperti dikutip dari The Conversation.

Transportasi menyumbang 15 persen. Gabungan keduanya mencapai hampir setengah total GRK global. Artinya, upaya mengurangi emisi dari dua sektor ini sangat krusial.

Namun, sebagaimana dikatakan Ahmad, “transisi energi bukanlah silver bullet (obat mujarab lengkap) yang mampu menyelesaikan persoalan pendidihan global dan perubahan iklim secara serta-merta.”

Bahkan, dengan melakukan transisi pun, perubahan iklim tidak langsung tertanggulangi. Apalagi jika tidak dilakukan sama sekali.

Di sinilah kompleksitas muncul. Mengubah sistem bahan bakar transportasi dari fosil ke bioenergi, misalnya, menimbulkan tantangan baru: ketergantungan pada sawit dan risiko kerusakan hutan. Menggunakan jagung dan singkong untuk biofuel juga bisa memicu konflik fungsi lahan antara pangan dan energi.

Teknologi kendaraan listrik pun tidak sepenuhnya bersih jika sumber listrik masih berasal dari PLTU batu bara, yang menyuplai lebih dari 54 persen listrik Indonesia.

Solusi seperti co-firing—menggantikan sebagian batu bara dengan biomassa—juga tidak bebas masalah. Risiko deforestasi dan konflik lahan tetap menghantui.

Pembangkit listrik tenaga air berskala besar dapat merusak ekosistem. Angin dan surya menghadapi masalah intermitensi, alias pasokan yang tidak stabil. Matahari hanya bersinar efektif 4-5 jam sehari. Industri panel surya juga masih sangat bergantung pada impor, yang berarti tantangan baru dalam kemandirian teknologi.

"Tantangan-tantangan tersebut seharusnya mendorong kita semua (terutama pelaku industri bahan bakar fosil!) untuk mulai peduli pada urusan transisi energi," kata Ahmad. 

"Kita harus mencari solusi terbaik yang seimbang antara perspektif teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Itu memang tidak mudah, tapi mungkin."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI