Suara.com - Relawan pendukung Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi yakni Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) akan menggelar Kongres Luar Biasa atau KLB pada 19–20 Juni 2025 di Padepokan Pencak Silat, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.
Nantinya Jokowi sendiri disebut berniat hadir dalam acara tersebut.
"Presiden Republik Indonesia ke-7, Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) menyatakan persetujuannya atas pelaksanaan Kongres Luar Biasa (KLB) Dewan Pimpinan Pusat Barisan Relawan Jokowi Presiden (DPP Bara JP) yang akan digelar pada tanggal 19–20 Juni 2025 di Padepokan Pencak Silat, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta," kata Ketua DPP Bara JP, Boy Nababan saat dihubungi Suara.com, Jumat (13/6/2025).
"Beliau berniat hadir, namun masih tergantung kesembuhan alergi kulit yang sedang dalam pengobatan," sambungnya.
Boy menjelaskan KLB Bara JP tahun 2025 mengusung tema "Soliditas, Kolaborasi dan Sinergitas".
"(Ini) menjadi momentum strategis dalam rangka konsolidasi BaraJP untuk mempersiapkan organisasi dan seluruh kader BaraJP yang tersebar di 38 provinsi dan 15 negara dalam upaya mendukung dan menyukseskan program kerja pemerintahan Prabowo-Gibran," ujarnya.
Ia menyampaikan, jajaran DPP Bara JP sendiri sudah menyambangi Jokowi di kediamannya di Solo.
"Secara khusus Pak Jokowi berpesan agar BaraJP berperan aktif dalam menyukseskan program pemerintah," ujarnya.
Terkait perjalanan persiapan KLB sendiri, Boy menjelaskan bahwa KLB merupakan amanat Rakernas Bara JP yang dilaksanakan pada Oktober 2024 lalu.
Baca Juga: Disindir Denny Siregar soal Jokowi Nabi, Dedy Nur Kader PSI Ngotot: Memang Berat Terima Kenyataan
Menurutnya, panitia telah melakukan penjaringan bakal calon ketua umum Bara JP, dan hingga ditutupnya masa penjaringan bakal calon ketua umum.
Mereka di antaranya;
Dr. M. Adli Abdullah, SH. MCL, (Ketua DPP BaraJP, mantan Ketua DPD BaraJP Provinsi Aceh)
Willem Frans Ansanay, SH, MPD. (Ketua DPP BaraJP, mantan Ketua DPD BaraJP Provinsi Papua)
Dr. Ir. Affandy Agusman Aris, ST. MT. SE. MM. SH. MH. (Ketua DPD BaraJP Provinsi Sulawesi Selatan).
Peluang Jadi Ketum PSI
Sebelumnya Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi cenderung lebih berpeluang menjadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia atau PSI.
Namun bagimana daya tawar politik, jika PSI dipimpin oleh Jokowi terutama untuk pemerintahan Prabowo Subianto?
Merespons hal itu, Analis Politik dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Kristian Widya Wicaksono, pun membeberkan pandangannya.
Menurutnya, jika Jokowi nanti menjadi Ketua Umum PSI maka posisi tawar partai tersebut akan tinggi untuk pemerintahan Prabowo.
"Dalam teori bargaining politik, kekuasaan relatif relative power diukur oleh kemampuan setiap pihak menerapkan “threat point” atau opsi di luar kesepakatan," kata Kristian kepada Suara.com, Kamis (12/6/2025).

"Dengan Jokowi sebagai Ketum PSI, partai ini memperoleh “outside option” yang sangat kuat yang menunjukkan afiliasi langsung dengan bekas presiden yang masih sangat populer. Sebagai akibatnya, PSI akan memiliki posisi tawar lebih tinggi saat bernegosiasi dengan pemerintahan Prabowo," katanya menambahkan.
Posisi tawar yang tinggi itu, kata dia, akan mempengaruhi penempatan kabinet, alokasi anggaran, atau pengesahan regulasi dalam pemerintahan, bahkan bisa saja menjegal agenda PDI Perjuangan.
"Misalnya dalam penempatan kabinet, alokasi anggaran, atau pengesahan regulasi—karena PSI dapat “menjegal” agenda PDI-P jika tuntutan koalisi tidak dipenuhi," ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, dengan Jokowi menjadi Ketua Umum PSI akan menciptakan multipolaritas baru.
Nantinya, kata dia, PDIP akan sulit lagi mendikte agenda koalisi tanpa mempertimbangkan veto politik yang mungkin dilancarkan PSI sebagai instrumen Jokowi.
"Hal ini berpotensi memaksa Pemerintahan Prabowo mengambil kebijakan yang lebih “netral” atau bahkan pro-PSI, sebagai trade-off untuk menjaga stabilitas dukungan," ujarnya.
Kendati begitu, bukan tanpa resiko meski PSI nanti dipimpin Jokowi mempunyai daya tawar politik yang tinggi.
"Ada risiko terfragmentasi: PSI berisiko dianggap “alat politik” Jokowi dan kehilangan legitimasi ideologis di kalangan pemilih muda progresif yang anti-elite. Selain itu, secara normatif, pindah raket dari PDI-P ke PSI dapat memicu pertanyaan legitimitas konsistensi dalam ideologi politik kepartaian, yang dalam jangka panjang menurunkan trust capital," katanya.
"Pemerintahan Prabowo pun akan mempertimbangkan efek blowback di publik jika terlalu tunduk pada tuntutan PSI–Jokowi, sehingga bargaining power tidaklah absolut," sambungnya.