Suara.com - Indonesia menduduki peringkat kedua secara global dalam hal potensi pengembangan energi surya di lahan bekas tambang dan area tidak terpakai, dengan kapasitas mencapai 59,45 gigawatt (GW).
Namun, dari angka masif ini, baru sekitar 600 megawatt (MW) yang direncanakan untuk dikembangkan, mencerminkan kesenjangan besar antara potensi dan realisasi.
Laporan terbaru dari Global Energy Monitor (GEM) berjudul “Bright Side of the Mine: Solar’s Opportunity to Reclaim Coal’s Footprint” mengungkap bahwa terdapat 446 lokasi tambang batu bara di dunia seluas 5.820 kilometer persegi yang bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Jika dikonversi, kawasan ini berpotensi menyumbang hampir 300 GW energi surya—setara dengan 15 persen kapasitas PLTS global saat ini.
Indonesia, yang menjadi salah satu negara produsen batu bara terbesar dunia, memiliki 1.190 kilometer persegi lahan bekas tambang yang diperkirakan akan ditutup hingga 2030, khususnya di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Jika lahan ini dioptimalkan untuk PLTS, maka total kapasitas yang dihasilkan bisa mencapai 59,45 GW—jumlah yang cukup untuk menyuplai listrik bagi puluhan juta rumah tangga.
Peluang Hijau di Atas Jejak Hitam
Menurut Cheng Cheng Wu, Manajer Proyek Energy Transition Tracker di GEM, transisi dari tambang batu bara menuju energi surya sedang berlangsung dan menjadi peluang besar di negara-negara penghasil batu bara seperti Australia, Amerika Serikat, Indonesia, dan India.
“Lahan bekas tambang sering kali dekat dengan infrastruktur listrik dan memiliki tenaga kerja lokal yang siap dilibatkan. Hal ini menjadikannya lokasi ideal untuk pembangunan PLTS,” ujarnya melansir ANTARA, Kamis (19/6/2025).
Baca Juga: Indonesia Targetkan Transisi Energi Bersih pada 2025, Mengapa Penting?
Transformasi ini juga dinilai dapat mengurangi dampak lingkungan dari industri ekstraktif. Lahan bekas tambang umumnya rusak dan tidak produktif, namun bisa dipulihkan dengan menjadikannya tempat pembangunan infrastruktur energi terbarukan. Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk mencapai netral karbon pada 2060.
Proyek Masih Mandek
Sayangnya, implementasi di lapangan belum secepat potensi yang tersedia. PT Bukit Asam Tbk, misalnya, telah mengumumkan proyek PLTS di tiga lokasi bekas tambang—Sumatera Barat (200 MW), Sumatera Selatan (200 MW), dan Kalimantan Timur (30 MW)—sejak 2021. Namun hingga kini, proyek-proyek tersebut belum menunjukkan perkembangan signifikan.
“Tanpa adanya dorongan kebijakan yang kuat dan strategi investasi yang inklusif, peluang ini bisa kembali menguap,” kata Ryan Driskell Tate, Direktur Asosiasi di GEM.
Ia menekankan pentingnya pelibatan komunitas lokal dalam transisi ini, terutama untuk mencegah terulangnya nasib komunitas batu bara yang kerap terpinggirkan setelah penutupan tambang.
Pekerjaan Hijau di Masa Depan
Transformasi lahan bekas tambang menjadi pusat energi surya juga dapat menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar. GEM memperkirakan bahwa pengembangan PLTS di area-area tersebut secara global bisa menciptakan sekitar 317.500 pekerjaan konstruksi dan 259.700 pekerjaan permanen.
Angka ini lebih besar dari jumlah pekerjaan yang diprediksi hilang dari sektor batu bara secara global hingga 2035.
Di Indonesia sendiri, laporan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut bahwa pengembangan energi surya berskala besar bisa menyerap sekitar 30–40 pekerjaan per MW selama masa konstruksi, dan 2–3 pekerjaan permanen per MW saat operasional.
Maka, dari potensi 59,45 GW, diperkirakan bisa tercipta lebih dari 170.000 lapangan kerja baru, yang sekaligus menjadi solusi atas pengurangan tenaga kerja di industri batu bara.
Tantangan dan Rekomendasi
Meski potensinya sangat besar, masih terdapat sejumlah tantangan mendasar dalam pemanfaatan lahan bekas tambang untuk energi surya, antara lain:
- Belum adanya regulasi khusus yang mengintegrasikan reklamasi tambang dengan pengembangan energi terbarukan.
- Hambatan perizinan, termasuk tumpang tindih kepemilikan lahan dan persoalan tata ruang.
- Kurangnya insentif finansial dan kemudahan akses pendanaan untuk proyek PLTS skala besar di lokasi eks-tambang.
- Minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pembangunan proyek.
GEM menyarankan agar pemerintah Indonesia menyusun kerangka kebijakan yang mengutamakan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) di lahan eks-tambang, serta memastikan adanya mekanisme transisi adil (just transition) bagi pekerja tambang dan komunitas di sekitarnya.
Lahan bekas tambang bukan hanya simbol masa lalu penuh eksploitasi, tetapi juga bisa menjadi fondasi bagi masa depan yang berkelanjutan. Di tengah krisis iklim dan penurunan industri batu bara, energi surya di lahan eks-tambang adalah peluang yang tak boleh disia-siakan.
Menghidupkan kembali tanah yang pernah mati demi energi bersih adalah wujud nyata dari rekonsiliasi antara manusia dan alam—yang kini sangat dibutuhkan.