SPMB 2025 Dinilai Diskriminatif, JPPI: Pemerintah Lupa Hak Semua Anak atas Pendidikan

Jum'at, 20 Juni 2025 | 16:32 WIB
SPMB 2025 Dinilai Diskriminatif, JPPI: Pemerintah Lupa Hak Semua Anak atas Pendidikan
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru /SPMB SMP. (Ist)

Suara.com - Pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025 menuai protes dan ditemukan adanya dugaan kecurangan. Sistem itu dinilai masih belum adil dan belum berpihak pada prinsip perlindungan hak semua anak atas pendidikan.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai sistem SPMB 2025 masih diskriminatif. JPPI menyoroti bahwa SPMB 2025 masih terjebak dalam masalah klasik, yaitu perebutan kursi di sekolah negeri, tanpa memberikan solusi komprehensif bagi mayoritas anak yang tidak tertampung.

Kasus jual beli kursi ini terjadi mengikuti hukum pasar supply and demand. Semakin tinggi permintaan karena barang yang langka, maka semakin tinggi harga jual.

"Inilah pintu masuk kasus jual beli kursi, pungli, dan manipulasi yang sudah diberantas. Ada permintaan yang sangat tinggi (demand), sementara penyediaan (supply) yang sangat minim,” kata Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji dalam keterangannya

Ubaid mempertanyakan sikap pemerintah yang dinilai hanya sibuk mengurus seleksi calon siswa, padahal masih banyak anak yang tidak tertampung di sekolah negeri.

Sebagai contoh, rata-rata daya tampung SMA Negeri di berbagai provinsi hanya sekitar 30 persen.

Menurut Ubaid, mestinya pemerintah fokus terhadap 70 persen anak yang tidak tertampung. Kondisi itu berpotensi mengakibatkan tingginya angka putus sekolah di jenjang SMA dan rendahnya angka partisipasi sekolah.

Masalah lainnya juga terkait dengan sistem domisili yang dinilai ambigu. JPPI menilai Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025 sangat membingungkan, terutama terkait penerapan jalur penerimaan.

"Misalnya, pada jalur domisili tingkat SMA, yang menjadi ukuran adalah kemampuan akademik, bukan jarak tempat tinggal ke sekolah (Pasal 43). Keanehan serupa juga ditemukan pada jalur afirmasi yang ternyata mengukur jarak (Pasal 44), sementara jalur domisili jenjang SD yang diukur malah usia (Pasal 43)," tuturnta.

Baca Juga: Mengatasi Error SPMB Jawa Barat 2025, Kendala Teknis Bisa Segera Lapor

Kebingungan itu semakin diperparah dengan aturan di daerah seperti Jakarta dan Yogyakarta, di mana semua jalur penerimaan di jenjang SMA, baik jalur prestasi, domisili, mutasi, dan afirmasi, pada akhirnya tetap mengutamakan prestasi akademik.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Jakarta 414/2025 dan Keputusan Gubernur DIY 131/2025).

“Ironi memang, meski jarak domisili anak dekat dengan sekolah dan dari keluarga miskin pula, tidak menjamin akan bisa melenggang lolos seleksi bila tidak berprestasi,” kritik Ubaid.

Menurut JPPI, empat jalur yang seharusnya membuka akses pendidikan, justru menjadi jalur buntu karena pengukuran prestasi dijadikan acuan utama di mana-mana.

Diprotes

Diberitakan sebelumnya, sejumlah warga dari Desa Waluya, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, melakukan aksi unjuk rasa di depan gerbang SMAN 3 Cikarang Utara pada Kamis, 19 Juni 2025.

Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap hasil Seleksi Penerimaan Murid Baru atau SPMB jalur domisili yang dinilai tidak adil oleh para orang tua.

Warga Desa Waluya, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi melakukan aksi unjuk rasa di depan pintu gerbang SMAN 3 Cikarang Utara, Kamis (19/6/2025) [Suara.com/ANTARA]
Warga Desa Waluya, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi melakukan aksi unjuk rasa di depan pintu gerbang SMAN 3 Cikarang Utara, Kamis (19/6/2025) [Suara.com/ANTARA]

Salah satu warga, Lena (46), mengaku sangat kecewa karena anaknya tidak lolos seleksi melalui jalur domisili, padahal rumah mereka berada sangat dekat dengan sekolah. “Rumah saya tidak sampai 500 meter dari sekolah. Tapi justru yang rumahnya jauh bisa diterima,” ujar Lena.

Ia menambahkan, sebagai orang tua dari keluarga sederhana, dirinya sangat berharap sang anak bisa diterima di sekolah negeri.

Biaya sekolah swasta yang jauh lebih tinggi membuat pilihan tersebut menjadi beban berat. “Kalau ke swasta, kayaknya berat banget untuk kami,” keluhnya.

Keluhan senada juga diungkapkan oleh Erni (44), yang merasa proses seleksi tidak transparan. Ia menuding adanya dugaan kecurangan karena ada siswa dari luar Desa Waluya yang justru lolos jalur domisili.

“Kami curiga ada permainan. Ini yang membuat kami turun ke jalan,” kata Erni.

Aksi unjuk rasa ini juga diwarnai ancaman dari warga untuk menggembok gerbang sekolah. Mereka menyatakan akan melakukan tindakan tersebut jika tuntutan mereka tidak digubris oleh pihak sekolah maupun pemerintah setempat.

“Kami akan kunci gerbang sekolah sampai tuntutan kami dipenuhi,” tegas salah satu perwakilan warga dalam orasinya.

Dari data yang disampaikan warga, terdapat sebanyak 89 anak dari Desa Waluya yang tidak terakomodir dalam SPMB jalur domisili di tahap pertama.

Anak-anak tersebut kini diarahkan untuk mengikuti tahap kedua penerimaan, yaitu melalui jalur prestasi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI