suara hijau

Menko AHY Bahas Energi Nuklir Bareng Dubes Rusia, Siapkah RI Masuk Era Baru?

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Jum'at, 20 Juni 2025 | 17:57 WIB
Menko AHY Bahas Energi Nuklir Bareng Dubes Rusia, Siapkah RI Masuk Era Baru?
Bahaya Radiasi Nuklir bagi Kesehatan. (Pexels)

Suara.com - Pemerintah Indonesia mulai menjajaki pembangunan infrastruktur energi nuklir sebagai bagian dari strategi transisi menuju energi bersih. Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Menko IPK) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) melakukan pembicaraan awal dengan Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia.

Langkah ini disampaikan oleh Deputi Bidang Koordinasi Pemerataan Pembangunan Wilayah, Agraria, dan Tata Ruang Kemenko IPK, Nazib Faisal, dalam acara HUT Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO).

Nazib menegaskan bahwa infrastruktur energi bersih, termasuk nuklir, tengah menjadi fokus Kemenko IPK.

"Kemarin Menko IPK bertemu dengan Dubes Rusia untuk Indonesia Bapak Sergei Tolchanov. Ada namanya Rosatom," ujar Nazib di Jakarta, Jumat.

Ilustrasi energi nuklir. (Pixabay)
Ilustrasi energi nuklir. (Pixabay)

Menurutnya, rencana ini akan melibatkan banyak pelaku industri. Dari konsultan, konstruksi, hingga pekerjaan supervisi. Ini menciptakan potensi kerja sama lintas sektor yang luas dan strategis.

Nazib juga mencontohkan infrastruktur energi bersih yang telah terwujud di Indonesia, yakni PLTS terapung di Bendungan Cirata, Jawa Barat. Proyek ini melibatkan berbagai pihak dari tahap desain, supervisi, hingga operasional dan pemeliharaan.

"Arahan Pak Menko IPK, infrastruktur energi bersih. Jadi energi bersih, itu jadi langkah ke depan," tegasnya.

Menko IPK AHY juga terus menjajaki peluang kerja sama infrastruktur lebih luas dengan Rusia. Apalagi, momentum International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 membuka ruang kolaborasi strategis antara kedua negara.

Dalam pernyataannya, Nazib menyebut bahwa pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto tengah mendorong agenda pembangunan nasional yang ambisius. Fokusnya mencakup pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun, serta penguatan ketahanan pangan, air, dan energi. Di saat yang sama, kualitas hidup rakyat ditingkatkan melalui pendidikan, layanan kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.

Baca Juga: Mentan Amran Bakal ke Rusia Oktober 2025, Dapat Undangan Khusus dari Mentan Oksana Nikolaevna Lut

Target Energi Nuklir Indonesia

Pemerintah Indonesia resmi menetapkan energi nuklir dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024 sebagai bagian dari strategi jangka panjang sektor kelistrikan. Targetnya, pada 2060, energi nuklir akan menyumbang hampir 8% dari total kapasitas pembangkit nasional.

Peran energi nuklir disiapkan sebagai pemasok listrik dasar (baseload) yang stabil, guna mendukung transisi energi dan pencapaian target emisi nol bersih (net zero emission).

Dalam tulisannya di The Conversation, Agus Hasan, profesor dari Norwegian University of Science and Technology, menjelaskan bahwa secara ekonomi, energi nuklir memang memiliki biaya awal tinggi. Namun, daya saingnya justru muncul ketika menggunakan pendekatan levelized full system cost of electricity (LFSCOE)—bukan LCOE konvensional.

LFSCOE menghitung seluruh biaya tambahan yang diperlukan untuk menjaga kestabilan sistem energi, termasuk penyimpanan, infrastruktur jaringan, dan daya cadangan,yang sangat penting dalam integrasi energi terbarukan seperti surya dan angin.

Menggunakan metode ini, Agus menunjukkan bahwa biaya listrik tenaga nuklir di Jerman hanya sekitar US$106/MWh (Rp1,7 juta), jauh lebih rendah dari tenaga surya yang mencapai US$1.548/MWh (Rp25,3 juta) dan tenaga angin US$504/MWh (Rp8,2 juta).

Indonesia dan Dilema Energi

Masih mengutip Agus Hasan, Indonesia tengah menghadapi dilema energi yang tidak mudah: bagaimana memastikan transisi ke energi bersih, tanpa mengorbankan kestabilan pasokan. Dalam konteks ini, nuklir menjadi salah satu opsi karena kapasitas besar dan sifatnya yang stabil.

Namun, Agus mengingatkan bahwa mengadopsi energi nuklir perlu strategi cermat. Ia mencontohkan pendekatan negara-negara seperti Prancis dan Swedia yang sukses mengintegrasikan nuklir dalam sistem energinya.

Agus menekankan bahwa Indonesia bisa memulai dengan membangun reaktor modular kecil atau Small Modular Reactors (SMR) yang lebih aman dan fleksibel, dibanding langsung membangun pembangkit besar berisiko tinggi.

Strategi Jangka Panjang

Dalam tulisan yang sama, Agus juga menyoroti tantangan lain: keterbatasan sumber daya nuklir dalam negeri. Indonesia hanya memiliki sekitar 90.000 ton uranium dan 150.000 ton thorium,jumlah yang dinilainya hanya cukup untuk beberapa tahun operasi.

Untuk itu, diperlukan kemitraan strategis jangka panjang dengan negara-negara kaya sumber daya seperti Kazakhstan, Australia, Kanada, dan Namibia.

Agus menegaskan bahwa standar keamanan harus super ketat, dan setiap keputusan energi harus mempertimbangkan risiko serta manfaatnya secara menyeluruh.

“Transisi energi memang tak bisa ditawar,” tulis Agus. “Namun setiap opsi memiliki tantangan. Jika nuklir menjadi salah satu pilihan, maka semua untung-ruginya harus ditimbang dengan sangat cermat.”

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI