Suara.com - Industri berat di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menurunkan emisi karbon. Sektor seperti semen dan pupuk dikenal sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca tertinggi dalam kategori industri nasional.
Tak hanya itu, industri ini juga merupakan konsumen terbesar energi fosil, khususnya batu bara. Namun, di tengah tantangan tersebut, muncul peluang strategis yang bisa menjadikan Indonesia sebagai pemain utama dalam transisi industri hijau di kawasan Asia Tenggara.
Dalam laporan Perdagangan dan Investasi Berkelanjutan Indonesia 2025 yang diluncurkan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Jumat (20/6), Indonesia disebut memiliki peluang besar untuk menjadi pionir dalam produksi semen hijau dan green ammonia.
“Sebagai produsen regional utama, Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pionir dalam pengembangan semen hijau (green cement) yang kompetitif, sekaligus mendorong transisi industri secara berkelanjutan dan inklusif,” demikian laporan CSIS.

Research Associate dari Climate Policy Research Unit CSIS Indonesia, Via Azlia, menyampaikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan kapasitas produksi semen terbesar di Asia Tenggara, yaitu lebih dari 100 juta ton per tahun.
Namun, sektor ini juga menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar, bersama dengan pupuk dan baja, yang menurutnya menyumbang hampir 82 persen dari total emisi sektor industri serta mengonsumsi hingga 85 persen batu bara.
“Potensi ini dapat dioptimalkan sebagai upaya dekarbonisasi industri nasional sekaligus membuka peluang besar di pasar global yang kian menuntut produk berkelanjutan,” ujar Via.
Di tengah kebutuhan pasar dunia akan produk rendah emisi, industri semen hijau di Indonesia mulai menunjukkan arah positif. PT Semen Indonesia, misalnya, telah menjadi pelopor dalam produksi semen yang lebih ramah lingkungan.
Strategi yang diadopsi mencakup berbagai pendekatan, mulai dari pengurangan klinker, penggunaan bahan bakar alternatif, peningkatan efisiensi energi, hingga adopsi teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS).
Baca Juga: Tren Pernikahan Masa Depan: Generasi Muda Pilih Undangan Digital Demi Bumi yang Lebih Baik
CSIS juga mendorong adanya pengembangan label dan sertifikasi untuk semen hijau agar transparansi emisi produk dapat ditingkatkan dan daya saing produk Indonesia di pasar global semakin kuat.
Sementara itu, industri pupuk juga tidak kalah penting dalam peta jalan transisi energi. Indonesia dikenal sebagai salah satu produsen pupuk urea terbesar di kawasan, walau masih bergantung pada impor jenis pupuk lainnya. Tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana menurunkan intensitas emisi tanpa mengganggu produktivitas dan ketahanan pangan nasional.
Di sektor ini, inovasi juga mulai bermunculan. CSIS menyoroti produksi green ammonia oleh PT Pupuk Indonesia sebagai contoh konkret transformasi industri pupuk menuju sistem yang lebih berkelanjutan.
Green ammonia, selain dapat digunakan sebagai pupuk ramah lingkungan, juga mulai dipertimbangkan sebagai bahan bakar alternatif, terutama untuk sektor kelistrikan dan maritim. Tren global menunjukkan bahwa komoditas ini semakin diperhitungkan dalam strategi dekarbonisasi di negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Uni Eropa.
Tak berhenti di situ, Indonesia kini juga mulai membangun posisi strategis dalam rantai pasok global green ammonia. Hal ini didukung oleh cadangan energi terbarukan yang besar dan pengalaman panjang dalam produksi pupuk urea.
Dalam ajang COP29 tahun 2024 lalu, Indonesia meluncurkan inisiatif GAIA (Green Ammonia Initiative from Aceh) yang digagas oleh PT Pupuk Indonesia. Fasilitas ini menjadi yang pertama di dunia yang memadukan energi terbarukan dan konvensional dalam proses produksi amonia hijau.