Suara.com - Wacana pengadaan iPad bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mengemuka dan sontak menjadi sorotan tajam publik.
Di satu sisi, argumen mengenai kebutuhan transformasi digital untuk menunjang kinerja legislatif terdengar rasional.
Namun, di sisi lain, permintaan ini muncul di saat Indonesia tengah berjuang mengelola defisit anggaran yang tidak sedikit.
Hal ini memicu pertanyaan fundamental: seberapa penting dan mendesak pengadaan perangkat premium ini jika dihadapkan pada skala prioritas kebutuhan negara yang lebih luas?
Argumen utama yang kerap menjadi pembenaran adalah efisiensi kerja dan upaya mengurangi penggunaan kertas (paperless).
Dalam era digital, akses cepat terhadap ribuan halaman dokumen, undang-undang, dan bahan rapat adalah sebuah keniscayaan.
Penggunaan tablet dianggap dapat memangkas biaya cetak yang masif, mempercepat distribusi materi, dan mempermudah anggota dewan untuk bekerja secara mobile.
Secara teori, langkah ini sejalan dengan agenda reformasi birokrasi dan modernisasi parlemen yang didengungkan banyak negara maju.
Namun, urgensinya menjadi sangat debatable ketika diletakkan dalam konteks kondisi fiskal saat ini.
Baca Juga: Soal DPR Minta iPad ke Sri Mulyani, Formappi: Beli Sendirilah!
Ketika pemerintah sedang giat mencari cara untuk menambal defisit, pengadaan barang yang dipersepsikan sebagai kemewahan dapat dianggap sebagai bentuk insensitivitas terhadap kondisi ekonomi rakyat.
Mengapa Harus iPad? Sebuah Pertanyaan Kunci
Pertanyaan selanjutnya yang tak kalah penting adalah mengapa harus iPad? Pilihan yang spesifik pada produk besutan Apple ini seringkali menimbulkan kecurigaan tersendiri.
Alasan yang sering digunakan adalah faktor ekosistem, keamanan, dan kemudahan penggunaan. Ekosistem Apple yang terintegrasi dianggap memudahkan sinkronisasi data antar perangkat, sementara sistem operasinya (iOS/iPadOS) diklaim memiliki tingkat keamanan yang lebih solid dibandingkan kompetitor, sebuah aspek krusial untuk data kenegaraan.
Memilih iPad bukan sekadar memilih tablet, tetapi memilih ekosistem yang terintegrasi dan dianggap memiliki standar keamanan lebih tinggi. Namun, pertanyaan utamanya adalah apakah fitur premium tersebut sepadan dengan harganya untuk fungsi legislatif dasar. Pernyataan ini menyoroti inti masalahnya.
Bahkan Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Formappi, Lucius Karus menilai bahwa jika meminta iPad untuk menunjang kinerja anggota dewan tak begitu mendesak.
Bahkan Lucius mengusulkan agar anggota dewan membeli gawai tersebut dengan uang mereka sendiri, tanpa harus mengajukan anggaran ke Kemenkeu.
"Kalau anggota DPR merasa perlu menggunakan iPad ya beli sendirilah. Sudah banyak juga kan yang punya. Kalau sudah punya tetapi minta yang baru karena gratis, ya itu namanya pemborosan," kata dia.
Apakah fungsi utama seperti membaca dokumen, membuat catatan, dan rapat virtual tidak bisa difasilitasi oleh perangkat tablet lain yang harganya jauh lebih terjangkau?
Pasar teknologi saat ini menawarkan banyak alternatif dengan spesifikasi mumpuni yang dapat menjalankan fungsi serupa dengan biaya yang mungkin hanya sepertiga atau setengah dari harga iPad.
Spesifikasi pada merek tertentu seringkali mengesankan adanya preferensi yang melampaui sekadar kebutuhan fungsional.
Analisis Kebutuhan dan Anggaran yang Tepat
Jika kita berandai-andai menyetujui urgensinya, berapa anggaran yang tepat? Jumlah anggota DPR RI adalah 580 orang.
Jika setiap anggota diberikan satu unit iPad Air (sebagai contoh model kelas menengah), yang harganya berkisar Rp10 juta hingga Rp12 juta per unit, maka total anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp5,8 miliar hingga Rp6,96 miliar.
Angka ini belum termasuk biaya untuk aksesori pendukung seperti keyboard atau pena digital, serta anggaran untuk lisensi perangkat lunak khusus, pelatihan, dan pemeliharaan.
Angka miliaran rupiah ini sontak terasa kontras jika dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk sektor lain yang lebih mendesak, seperti perbaikan sekolah rusak, pengadaan alat kesehatan di puskesmas daerah terpencil, atau bahkan program bantuan sosial.
Oleh karena itu, keputusan untuk segera menyiapkan iPad bagi seluruh anggota dewan saat ini terlihat kurang bijaksana.
Alih-alih pengadaan massal, mungkin bisa dipertimbangkan skema bertahap atau sistem inventaris yang dipinjamkan, bukan menjadi milik pribadi.
Digitalisasi memang sebuah keharusan, tetapi memprioritaskan perangkat premium di tengah keterbatasan fiskal adalah sebuah pilihan kebijakan yang patut dipertanyakan secara serius.
Jalan menuju parlemen modern tidak harus selalu dilapisi dengan produk termahal, melainkan dengan komitmen pada efisiensi dan kepekaan terhadap denyut nadi perekonomian bangsa.