Sejarah banjir Jakarta bermula sejak masa kolonial Belanda ketika kota ini masih bernama Batavia.
Letaknya yang berada di dataran rendah, berdekatan dengan pesisir, serta dilalui 13 sungai, menjadikan kawasan ini sangat rentan terhadap luapan air.
Tercatat, banjir besar pertama kali terjadi pada tahun 1621, hanya satu dekade setelah VOC membangun kota Batavia.
Pemerintah kolonial kemudian membangun kanal-kanal layaknya di Belanda, namun justru membuat kondisi lebih parah karena saluran tidak terintegrasi dan kerap tersumbat.
Salah satu banjir paling parah terjadi pada tahun 1918, yang memicu pembangunan sistem drainase kota.
Namun, dengan pertumbuhan populasi yang cepat dan urbanisasi yang tak terkendali, sistem ini tak mampu mengimbangi lonjakan kebutuhan tata air yang modern.
Banjir Era Orde Baru
Pada masa Orde Baru, banjir tetap menjadi persoalan besar. Banjir besar tahun 1976, 1996, dan 1997 menjadi peringatan keras.
Pemerintah merespons dengan pembangunan kanal-kanal besar dan waduk, termasuk Kanal Banjir Barat (KBB) dan Kanal Banjir Timur (KBT) yang baru rampung pada 2003.
Sayangnya, solusi ini bersifat jangka pendek karena tidak diimbangi dengan pengendalian tata ruang, normalisasi sungai, dan pengelolaan limbah.
Baca Juga: Banjir Rendam Jakarta, Gubernur Pramono Anung Diserbu Warga saat Pesta Rakyat
Banjir Tak Pernah Absen
Banjir tahun 2002 melumpuhkan sebagian besar wilayah Jakarta. Lebih dari 300 ribu warga mengungsi dan aktivitas ekonomi lumpuh.
Hanya lima tahun berselang, banjir 2007 melanda dengan dampak yang lebih luas. Saat itu, sekitar 70 persen wilayah Jakarta tergenang, dengan ketinggian air mencapai empat meter di beberapa titik.
Kejadian ini memicu diskusi serius soal penataan ruang, normalisasi sungai, serta relokasi warga di bantaran sungai. Namun, implementasinya masih terbentur kepentingan politik dan sosial.
Banjir besar kembali datang pada 2013, 2020, dan 2021, dengan pola dan penyebab yang nyaris sama, curah hujan ekstrem, kiriman air dari hulu (Bogor dan Depok), serta sistem drainase yang tak memadai. Bahkan pada 2020, Istana Negara dan kawasan Monas ikut tergenang.
Di tahun-tahun berikutnya, banjir tetap hadir nyaris setiap musim hujan, meski skalanya bervariasi.
Pada 2024, data BPBD menunjukkan lebih dari 60 RT tergenang secara bersamaan saat hujan deras mengguyur.