Banjir Jakarta Bukan Hal Baru, Ini Catatan Sejarah Kelam Sejak Jaman Belanda

Bella Suara.Com
Minggu, 06 Juli 2025 | 21:15 WIB
Banjir Jakarta Bukan Hal Baru, Ini Catatan Sejarah Kelam Sejak Jaman Belanda
Anak-anak bermain air di halaman SD Negeri 22 Pejaten Timur yang terendam banjir di Jakarta, Selasa (4/3/2025). [ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/tom]

Suara.com - Banjir yang melanda Ibu Kota Jakarta semakin meluas dan kini tercatat telah merendam 53 Rukun Tetangga (RT) yang tersebar di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur.

Kondisi ini terjadi setelah hujan dengan intensitas tinggi mengguyur wilayah tersebut sejak Minggu (6/7) sore.

Informasi tersebut disampaikan oleh Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) BPBD DKI Jakarta, Mohamad Yohan.

Warga melintasi banjir di kawasan Cililitan, Jakarta, Selasa (4/3/2025). [ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/agr]
Warga melintasi banjir di kawasan Cililitan, Jakarta, Selasa (4/3/2025). [ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/agr]

“Kami mencatat saat ini genangan terjadi di 53 RT,” ujar Yohan seperti dikutip dari ANTARA, Minggu malam.

Menurutnya, terdapat penambahan empat RT yang tergenang banjir di wilayah Jakarta Barat akibat curah hujan lokal yang cukup tinggi.

Dengan penambahan ini, total wilayah yang masih terdampak banjir adalah 53 RT yang tersebar yakni 4 RT di Jakarta Barat, 19 RT di Jakarta Selatan, dan 30 RT di Jakarta Timur.

Banjir yang terjadi di Jakarta Selatan dan Timur disebabkan oleh kombinasi antara curah hujan tinggi dan luapan Kali Ciliwung, yang membawa banjir kiriman dari wilayah Bogor.

Sementara itu, banjir di Jakarta Barat dipicu oleh hujan lokal dengan intensitas tinggi yang mengguyur sejumlah kawasan sejak siang hingga sore hari.

Selain merendam permukiman warga, hujan deras juga mengakibatkan empat ruas jalan di Jakarta Barat tergenang dengan ketinggian air bervariasi antara 10 hingga 18 sentimeter.

Baca Juga: Banjir Rendam Jakarta, Gubernur Pramono Anung Diserbu Warga saat Pesta Rakyat

Keempat ruas jalan tersebut meliputi Jalan Perumahan Green Garden (MCD), Jalan Adi Karya, Jalan Raya Kembangan dan Gang H Musanif.

Yohan menambahkan bahwa pihak BPBD DKI Jakarta terus melakukan pemantauan dan penanganan di lapangan.

Data terbaru hingga pukul 18.00 WIB menunjukkan adanya lima RT di tiga kelurahan yang sebelumnya terdampak kini telah surut.

Sejumlah pompa air juga terus dioperasikan di berbagai titik untuk mempercepat proses penyurutan air.

Banjir Sudah Ada Sejak Zaman Belanda

Banjir bukanlah bencana baru bagi Jakarta. Ibukota negara ini telah lama memikul beban sejarah kelam banjir yang terus berulang dari masa ke masa.

Meski berbagai upaya mitigasi telah dilakukan, kenyataannya banjir masih menjadi momok tahunan bagi warganya.

Sejarah banjir Jakarta bermula sejak masa kolonial Belanda ketika kota ini masih bernama Batavia.

Letaknya yang berada di dataran rendah, berdekatan dengan pesisir, serta dilalui 13 sungai, menjadikan kawasan ini sangat rentan terhadap luapan air.

Tercatat, banjir besar pertama kali terjadi pada tahun 1621, hanya satu dekade setelah VOC membangun kota Batavia.

Pemerintah kolonial kemudian membangun kanal-kanal layaknya di Belanda, namun justru membuat kondisi lebih parah karena saluran tidak terintegrasi dan kerap tersumbat.

Salah satu banjir paling parah terjadi pada tahun 1918, yang memicu pembangunan sistem drainase kota.

Namun, dengan pertumbuhan populasi yang cepat dan urbanisasi yang tak terkendali, sistem ini tak mampu mengimbangi lonjakan kebutuhan tata air yang modern.

Banjir Era Orde Baru

Pada masa Orde Baru, banjir tetap menjadi persoalan besar. Banjir besar tahun 1976, 1996, dan 1997 menjadi peringatan keras.

Pemerintah merespons dengan pembangunan kanal-kanal besar dan waduk, termasuk Kanal Banjir Barat (KBB) dan Kanal Banjir Timur (KBT) yang baru rampung pada 2003.

Sayangnya, solusi ini bersifat jangka pendek karena tidak diimbangi dengan pengendalian tata ruang, normalisasi sungai, dan pengelolaan limbah.

Banjir Tak Pernah Absen

Banjir tahun 2002 melumpuhkan sebagian besar wilayah Jakarta. Lebih dari 300 ribu warga mengungsi dan aktivitas ekonomi lumpuh.

Hanya lima tahun berselang, banjir 2007 melanda dengan dampak yang lebih luas. Saat itu, sekitar 70 persen wilayah Jakarta tergenang, dengan ketinggian air mencapai empat meter di beberapa titik.

Kejadian ini memicu diskusi serius soal penataan ruang, normalisasi sungai, serta relokasi warga di bantaran sungai. Namun, implementasinya masih terbentur kepentingan politik dan sosial.

Banjir besar kembali datang pada 2013, 2020, dan 2021, dengan pola dan penyebab yang nyaris sama, curah hujan ekstrem, kiriman air dari hulu (Bogor dan Depok), serta sistem drainase yang tak memadai. Bahkan pada 2020, Istana Negara dan kawasan Monas ikut tergenang.

Di tahun-tahun berikutnya, banjir tetap hadir nyaris setiap musim hujan, meski skalanya bervariasi.

Pada 2024, data BPBD menunjukkan lebih dari 60 RT tergenang secara bersamaan saat hujan deras mengguyur.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI