Suara.com - Di tengah dorongan global menuju ekonomi rendah karbon, industri kecil dan menengah (IKM) di Indonesia punya posisi strategis. Bukan hanya karena jumlahnya yang mendominasi—mencapai 99,7 persen dari total industri nasional—tapi juga karena kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi lokal.
Namun, apakah IKM juga siap menjadi bagian dari solusi krisis iklim?
Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, jawabannya adalah ya. Ia menyatakan optimismenya bahwa pelaku IKM dapat menjadi ujung tombak transisi menuju industri hijau dan mewujudkan target Net Zero Emissions (NZE) pada 2050.
![Ilustrasi emisi. [Unsplash]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/04/09/98757-ilustrasi-emisi.jpg)
“IKM bukan hanya tulang punggung ekonomi daerah, tapi juga bisa menjadi pelaku utama dalam percepatan kebijakan dekarbonisasi industri nasional,” ujarnya di Jakarta, Senin (1/7) seperti dikutip dari ANTARA.
Ia menekankan bahwa keberadaan 4,52 juta unit usaha IKM serta keterlibatannya dalam menyerap 13 juta tenaga kerja menjadi landasan kuat untuk membangun sektor industri yang lebih tangguh dan adaptif terhadap perubahan iklim.
Langkah konkret ke arah itu tengah dijalankan oleh Kementerian Perindustrian melalui berbagai kebijakan berbasis "green transition".
Prinsip utamanya: mendorong efisiensi energi, penggunaan bahan baku yang ramah lingkungan, dan penerapan ekonomi sirkular.
“Transformasi menuju industri rendah karbon bukan hanya tanggung jawab industri besar,” jelas Reni Yanita, Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin.
“Semakin banyak pelaku IKM yang mulai sadar dan punya kesadaran atas isu dekarbonisasi. Kami angkat ini sebagai isu penting dalam setiap program pengembangan,” tambahnya.
Baca Juga: Dukung Net Zero Emission, BNI Sekuritas Gandeng 3 Mitra
Bahkan, Kemenperin menargetkan percepatan dekarbonisasi IKM lebih cepat dari target nasional NZE 2060, yakni pada tahun 2050.
Namun, upaya ini bukan tanpa tantangan.
Banyak IKM masih menggunakan teknologi produksi yang boros energi dan belum sepenuhnya sadar akan dampak lingkungan dari proses produksinya. Di sisi lain, akses terhadap teknologi ramah lingkungan dan pembiayaan hijau masih menjadi kendala utama bagi banyak pelaku IKM.
Menjawab itu, Kemenperin menyiapkan strategi konkret, termasuk insentif, pelatihan, dan penyusunan standar industri hijau yang tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2024 tentang Perindustrian. Undang-undang ini menekankan pentingnya efisiensi sumber daya, pengelolaan limbah yang sederhana, dan produksi yang tidak membebani lingkungan.
“Prinsip ekonomi sirkular seperti reuse dan recycle kami dorong secara bertahap ke pelaku IKM, agar produksi mereka tetap efisien dan berkelanjutan,” tegas Reni.
Bagi masyarakat, hal ini juga memberi harapan. Transisi energi tak hanya soal industri besar, tapi juga menyentuh pelaku usaha kecil yang selama ini menopang ekonomi dari pinggiran.