Suara.com - Jagat maya Indonesia kembali dihebohkan oleh sebuah video viral yang menyeret nama seleb TikTok, Andini Permata.
Video yang menampilkan interaksinya dengan seorang anak laki-laki di bawah umur, atau yang akrab disebut "bocil", dengan cepat menyebar dan memicu beragam reaksi keras dari netizen.
Namun, di balik pusaran perbincangan mengenai siapa sosok Andini Permata, terdapat isu yang jauh lebih besar dan mendesak untuk dibahas: perlindungan anak dari eksploitasi terselubung dan ancaman jejak digital yang tak terhapuskan.
Fokus publik mungkin tertuju pada profil Andini Permata, seorang kreator konten yang diketahui kerap membuat video dengan tema serupa.
Artikel yang beredar luas mengupas tuntas "Siapa Andini Permata? Profil Seleb TikTok yang Viral Usai Video Kontroversial dengan Bocil".
Namun, mengalihkan lensa dari sang kreator ke anak yang terlibat dalam video tersebut membuka perspektif yang lebih krusial.
Ini bukan lagi sekadar perkara konten kontroversial untuk mendulang popularitas, melainkan sebuah cermin bagi masyarakat digital tentang betapa rentannya anak-anak menjadi objek dalam industri konten.
Dari Konten Viral Menjadi Potensi Eksploitasi
Interaksi yang ditampilkan dalam video tersebut, meski mungkin dibuat atas dasar suka sama suka atau tanpa niat jahat, telah melewati batas kewajaran dan etika.
Baca Juga: Siapa Andini Permata? Profil Seleb TikTok yang Viral Usai Video Kontroversial dengan Bocil
Para ahli psikologi anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) secara konsisten mengingatkan bahwa melibatkan anak dalam konten berkonotasi dewasa, sekalipun dalam bentuk candaan, memiliki dampak psikologis jangka panjang.
Anak tersebut berisiko mengalami kebingungan mengenai batasan interaksi sosial yang sehat, menjadi target perundungan siber (cyberbullying), hingga normalisasi hubungan yang tidak pantas dengan orang yang lebih dewasa.
Secara tidak sadar, anak yang terlibat dalam konten semacam itu dieksploitasi kepolosan dan ketidaktahuannya.
Mereka belum memiliki kapasitas penuh untuk memberikan persetujuan (consent) yang sebenarnya atas tindakan yang direkam dan disebarluaskan kepada jutaan pasang mata.
Di sinilah letak tanggung jawab mutlak seorang konten kreator. Mengejar engagement dan viralitas tidak boleh menjadi pembenaran untuk mengorbankan kesejahteraan fisik dan mental seorang anak.
![Perempuan yang disebut-sebut Andini Permata di media sosial. [Dok. Istimewa]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/07/08/36178-andini-permata.jpg)
Ancaman Jejak Digital dan Peran Orang Tua