Ancaman Pemakzulan Gibran, Pakar Bongkar 'Jebakan' Putusan MK 90 dan Skenario Politiknya

Jum'at, 11 Juli 2025 | 09:39 WIB
Ancaman Pemakzulan Gibran, Pakar Bongkar 'Jebakan' Putusan MK 90 dan Skenario Politiknya
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat panen Tebu. [Istimewa]

Suara.com - Panggung politik pasca-Pilpres 2024 diwarnai manuver dan diskursus sengit, salah satunya wacana pemakzulan Wakil Presiden yang berkelindan dengan serangkaian putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK).

Isu ini dikuliti habis oleh pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, yang mengungkap adanya potensi jebakan strategis hingga 'ancaman halus' di pusaran kekuasaan.

Dalam diskusi panas di podcast "Deddy Sitorus Official", Bivitri membedah skenario pemakzulan yang secara teori memiliki landasan hukum kuat, namun secara praktik penuh dengan ranjau politik.

Skenario Pemakzulan: Jebakan Putusan MK dan Strategi Mengisolasi Wapres

Bivitri Susanti menggarisbawahi bahwa pintu pemakzulan presiden dan wakil presiden memang terbuka dalam konstitusi.

"Pasal 7A dan 7B UUD 1945 menjadi dasar hukum pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden," tegas Bivitri, merujuk pada alasan seperti pengkhianatan negara, korupsi, hingga perbuatan tercela dikutip pada Jumat (11/7/2025).

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti di podcast "Deddy Sitorus Official. [YouTube]
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti di podcast "Deddy Sitorus Official. [YouTube]

Prosesnya pun melibatkan tiga gerbang kekuasaan: usulan dari DPR, pembuktian di MK, dan putusan akhir di MPR.

"Proses pemakzulan dimulai dari DPR, kemudian ke MK, dan terakhir ke MPR," jelasnya.

Namun, di sinilah letak kerumitan strategisnya. Bivitri secara tajam mengingatkan bahwa menggunakan Putusan MK Nomor 90—yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres—sebagai amunisi pemakzulan adalah langkah bunuh diri.

Baca Juga: Ada Survei Puas di Tengah Pemakzulan Gibran, Mampukah Pimpin Indonesia di Lingkaran Kontroversinya?

"Putusan tersebut merupakan produk MK sendiri yang belum pernah diakui salah, dan bisa jadi akan ditolak oleh MK," analisis Bivitri.

Upaya ini ibarat menyerahkan bola liar yang justru bisa menyeret pihak lain, termasuk Presiden terpilih Prabowo Subianto dan koalisinya, ke dalam pusaran konflik.

Sebagai alternatif, ia menyarankan strategi yang lebih jitu: mencari kasus yang dapat mengisolasi kesalahan wapres secara personal, tanpa menyeret institusi MK. Isu seperti "Fufu Fafa" atau polemik ijazah disebut sebagai contoh kasus yang bisa dieksplorasi.

Tantangan tak berhenti di situ. Bivitri juga menyoroti pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut presiden dan wakil presiden adalah "satu paket".

Pernyataan ini, menurutnya, bisa ditafsirkan sebagai isyarat politik atau bahkan ancaman halus untuk meredam wacana pemakzulan.

MK di Persimpangan Jalan: Nalar Hukum Cacat dan Beban Koreksi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI