Suara.com - Saat ini sedang hangat wacana tentang transportasi haji melalui jalur laut. Adalah Menteri Agama Nasaruddin Umar yang melontarkan wacana naik haji lewat laut.
Dia mengatakan pemerintah Indonesia sedang menjajaki kemungkinan dibukanya jalur laut sebagai alternatif pemberangkatan ibadah umrah dan haji yang saat ini tengah didiskusikan dengan otoritas Arab Saudi.
"Digagas ke depan kami kira sangat prospektif memperkenalkan umrah dan haji melalui kapal laut. Kami juga kemarin berbicara dengan sejumlah pejabat-pejabat di Saudi Arabia," ujar Menag.
Usulan Menag itu mendapat respons dari Badan Penyelenggara Haji (BP Haji). BP Haji menolak wacana atau usulan pemberangkatan calon jamaah haji menggunakan kapal laut sebagai salah satu alternatif transportasi untuk musim haji 1447 Hijriah.
"Betul, BP Haji tidak setuju keberangkatan haji menggunakan kapal laut," kata Tenaga Ahli BP Haji Ichsan Marsha di Kota Padang, Sumatera Barat, Sabtu (12/7/2025).
Menurut Ichsan, gagasan atau ide memberangkatkan calon jamaah haji menggunakan kapal laut bertolak belakang dengan semangat yang sedang dibangun BP Haji untuk memberikan layanan terbaik kepada masyarakat.
Dengan menggunakan kapal laut, kata dia, maka otomatis hal itu berdampak kepada lamanya waktu perjalanan calon jamaah haji dari Indonesia hingga tiba di Arab Saudi. Selain itu usulan tersebut dinilai juga tidak ekonomis.
Menurutnya, jika kebijakan tersebut diimplementasikan maka turut berdampak kepada upaya Pemerintah Indonesia yang bertekad mengurangi masa tinggal jamaah selama di Tanah Suci dari 40 hari menjadi 30 hari.
Kisah Buya Hamka
Baca Juga: Wacana Haji Naik Kapal Laut: Mimpi Buruk Jemaah atau Solusi Alternatif? Ini Kata BP Haji
Naik haji lewat jalur laut bukan hal baru di tanah air. Di zaman dulu, para jemaah calon haji asal Indonesia berangkat ke tanah suci menggunakan kapal laut.
Ketika masih bernama Hindia Belanda, para jemaah calon haji menempuh waktu sampai enam bulan menggunakan kapal laut milik perusahaan Belanda.
Ulama terkemuka, Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal dengan nama Buya Hamka, pernah merasakan naik haji melalui laut.
Dalam buku biografinya berjudul "Kenang-Kenangan Hidup", Buya Hamka menceritakan pengalaman ketika pertama kali naik haji pada Februari 1927 naik kapal laut.
Hamka yang ketika itu masih berusia 19 tahun berangkat dari Pelabuhan Belawan menuju Jeddah menumpang kapal Karimata kepunyaan Stoomavaart Maatschappij Nederland.
"Kadang-kadang termenunglah dia (Hamka) melihat lautan dan pikirannya menjalar jauh sekali ke balik ufuk, ke arah lapangan hidup yang belum tentu," tulis Hamka.
Saat itu menurut dia, ada sekitar 1.400 jemaah calon haji Indonesia yang menumpang kapal tersebut. Di atas kapal, Hamka berkenalan dengan banyak orang, salah satunya seorang perempuan berusia 17 tahun bernama Kulsum, berasal dari Cianjur, Jawa Barat.
Perawakan Kulsum yang tinggi semampai dan kulitnya yang hitam manis membuat Hamka muda terpana. Saat Kulsum, terlambat naik dek, jantung Hamka berdebar-debar. Namun begitu bertemu, Hamka menjadi bodoh dan tidak pandai bercengkrama.
Seorang pria bernama Sukarta, yang juga berasal dari Cianjur, menghampiri Hamka. Dia mengatakan jika Hamka ingin menikahi Kulsum maka kedua orang tua Kulsum tidak akan menolak.
"Kulsum berdiri merenungi lautan, melihat kapal memecah laut,ikan lumba-lumba beriring-iring menurutkan kapal. Alangkah cantiknya janda muda itu kena cahaya panas pagi, ujung selendang dikibas-kibaskan angin. Wajahnya tenang melihat laut, tetapi di sana terbayang pengharapan," tulis Hamka.
Dalam satu momen, Hamka memberanikan diri menyapa Kulsum dan memberikan sapu tangan putih sebagai hadiah.
"Tidak lama lagi berpisahlah kita. Mogamoga sesampai di Mekah kita dapat bertemu lagi. Terimalah hadiahku ini sebagai kenang-kenangan," kata Hamka ke Kulsum.
Dengan wajah berseri, Kulsum menerima sapu tangan sambil mengatakan, "Atur nuwun (terima kasih), ajengan."
Keesokan harinya giliran Kulsum yang membalas memberikan hadiah sapu tangan ke Hamka. Hamka menerimanya lalu mencium sapu tangan yang wangi itu.
Timbullah keinginan Hamka untuk menikah dengan Kulsum di atas kapal. Pernikahan di atas kapal ternyata hal biasa. Teman Hamka dari Pekantan Mandailing menikahi janda kaya raya dari Jakarta di atas kapal.
Di tengah kegalauan, Hamka teringat pesan kedua orang tuanya: Jangan menikah dengan orang Bandung di kapal. Saat itu ada anggapan di kampung Hamka jika menikah dengan orang Bandung tidak akan kembali ke kampung halaman.
Akhirnya Hamka mengurungkan niatnya menikahi Kulsum. Ketika sudah sampai ke Mekkah, Hamka mendapat kabar, Kulsum telah menikah dengan orang lain.