Suara.com - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi memberlakukan aturan baru terkait pungutan pajak bagi pedagang online.
Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang mulai berlaku sejak diundangkan pada 14 Juli 2025.
Melalui beleid ini, pemerintah menunjuk platform niaga elektronik (e-commerce) sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi dari para pedagang yang berjualan di marketplace.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rosmauli, menyampaikan bahwa latar belakang diterbitkannya PMK ini adalah pesatnya pertumbuhan ekosistem digital, terutama sejak pandemi COVID-19 yang mendorong perubahan perilaku belanja masyarakat ke ranah online.
![Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta, Selasa (22/10). [ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2019/10/22/70366-srimulyani.jpg)
“Untuk itu, diperlukan pengaturan yang mendorong kemudahan administrasi perpajakan, khususnya bagi pelaku usaha yang bertransaksi melalui sistem elektronik,” kata Rosmauli dalam keterangannya di Jakarta, Senin (15/7).
Pedagang Online Wajib Lapor
Dengan berlakunya PMK 37/2025, setiap marketplace kini wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5 persen dari total nilai bruto penjualan pedagang.
Tarif ini dapat bersifat final atau tidak final, tergantung pada status dan skema perpajakan pedagang.
Namun, pemungutan pajak tidak dilakukan secara serampangan.
Pedagang yang memiliki omzet di bawah Rp500 juta per tahun dapat dikecualikan dari kewajiban pemungutan, asalkan menyampaikan surat pernyataan resmi kepada platform tempat mereka berjualan.
Baca Juga: Sah! Pemerintah Mulai Pungut Pajak dari Pedagang E-commerce
Selain itu, pedagang diwajibkan menyampaikan beberapa informasi kepada lokapasar, antara lain:
- NPWP atau NIK,
- alamat korespondensi usaha,
- surat pernyataan omzet,
- serta invoice penjualan yang memenuhi standar data tertentu.
Risiko Jika Abaikan Kewajiban
Rosmauli menegaskan bahwa meskipun terlihat teknis, kelalaian dalam memenuhi kewajiban administrasi ini dapat menimbulkan konsekuensi serius.
Pedagang yang tidak memiliki NPWP, misalnya, akan dikenakan tarif pemungutan dua kali lipat dari tarif normal, yakni menjadi 1 persen dari nilai transaksi.
Sementara itu, jika pedagang tidak menyampaikan invoice atau informasi yang dibutuhkan, maka marketplace tidak dapat melakukan pemungutan pajak secara otomatis, dan pedagang wajib melaporkan dan menyetorkan pajaknya sendiri melalui sistem manual.
Lebih jauh, DJP juga membuka kemungkinan penerapan sanksi administratif jika wajib pajak terlambat atau tidak memenuhi kewajiban pajaknya sebagaimana diatur dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Bukan Pajak Baru, Tapi Cara Baru
DJP menekankan bahwa aturan ini bukanlah penambahan jenis pajak baru, melainkan bentuk penyesuaian cara pemungutan agar lebih selaras dengan perkembangan sistem perdagangan digital.
“Harapannya, masyarakat terutama pelaku UMKM, bisa lebih mudah menjalankan kewajiban perpajakannya, diperlakukan setara, dan ikut mendukung pertumbuhan ekonomi digital yang sehat dan berkeadilan,” ujar Rosmauli.
PMK 37/2025 juga disebut sebagai langkah menciptakan level playing field antara pelaku usaha konvensional dan digital.
Kebijakan serupa telah lebih dahulu diterapkan di beberapa negara seperti Meksiko, India, Filipina, dan Turki.
Marketplace Wajib Lapor ke DJP
Selain bertugas sebagai pemungut, marketplace juga diwajibkan menyampaikan informasi pemungutan kepada DJP.
Seluruh transaksi yang dikenakan PPh Pasal 22 akan dilaporkan melalui mekanisme SPT Masa PPh Unifikasi, dengan invoice yang dipersamakan sebagai dokumen bukti pemungutan.
PMK 37/2025 menekankan bahwa sistem pemungutan ini bersifat berbasis teknologi, menggunakan data digital yang akan menciptakan akurasi lebih baik dalam pencatatan dan pelaporan.
Aturan ini menjadi bagian dari strategi DJP dalam mendorong kesadaran dan kepatuhan pajak secara sistemik, terutama di sektor ekonomi digital yang terus tumbuh.
Pemerintah berharap aturan ini dapat memberikan kepastian hukum, kemudahan administrasi, serta meningkatkan kontribusi sektor UMKM digital terhadap penerimaan negara.
DJP juga mengimbau para pedagang online untuk segera menyesuaikan diri, terutama dengan melengkapi data usaha, mendaftarkan NPWP, dan memastikan seluruh transaksi tercatat dengan benar agar tidak terkena dampak negatif dari ketidakpatuhan.