Suara.com - PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia, perusahaan smelter nikel asal Tiongkok yang beroperasi di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), Sulawesi Selatan, menghentikan aktivitas operasionalnya per Selasa, 15 Juli 2025.
Keputusan tersebut diumumkan melalui sebuah memorandum internal yang ditandatangani langsung oleh Head of Division HRGA & HSE, Andi Adrianti Latippa dan Direktur Utama PT HNI, Jos Stefan Hideky.
Dalam memo itu disebutkan bahwa penghentian aktivitas ini berlaku sampai batas waktu yang belum ditentukan. Karyawan pun dirumahkan sementara hingga ada keputusan lebih lanjut dari manajemen perusahaan.
Kabar ini sekaligus menegaskan kondisi sulit yang tengah melanda industri nikel nasional akibat tren harga komoditas yang terus menurun sejak beberapa bulan terakhir.
"Iya, kami sudah dapat informasinya bahwa sebagian tungku di sana tidak lagi dioperasikan karena kondisi saat ini. Jadi ada PHK," kata Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Pemprov Sulsel, Asrul Sani, Rabu, 16 Juli 2025.
Ratusan pekerja melakukan aksi demo dan menutup pintu masuk perusahaan pada Senin, 14 Juli 2025 lalu. Massa menganggap pihak perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak.
Sebelumnya, Bupati Bantaeng Fathul Fauzi (Uji) juga mengungkapkan, pihaknya telah mengetahui rencana pengurangan tenaga kerja tersebut sejak jauh hari.
Ia menyebut, manajemen PT Huadi sempat menginformasikan rencana Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal terhadap ratusan karyawan sebagai upaya efisiensi produksi.
"Jauh sebelumnya saya telah memanggil direksi PT Huadi terkait rencana PHK ini. Rupanya bulan lalu pihak perusahaan berencana mau PHK sampai 200 orang terkait efisiensi karena harga nikel yang sedang anjlok," ujar Uji.
Baca Juga: Geger! Gibran Ungkap Fakta Mengejutkan di Balik Parfum Branded: Kemenyan Setara Nikel?
Namun, Uji mengaku, pemerintah daerah tidak memiliki banyak ruang intervensi dalam keputusan korporasi ini. Karena penurunan harga nikel juga terjadi di hampir seluruh daerah penghasil nikel di Indonesia.
"Kami pun dirugikan karena semakin sedikit karyawan, semakin sedikit produksi, restribusi daerah pasti semakin sedikit juga. Jadi ini bukan hanya keresahan pekerja saja, ini juga keresahan kami," katanya.
Ia menambahkan, fenomena serupa juga terjadi di wilayah lain, seperti di Morowali, Sulawesi Tengah. Padahal, daerah ini dikenal sebagai salah satu sentra produksi nikel terbesar nasional.
"Termasuk di Morowali, bahkan ada satu perusahaan yang 34 tungkunya tutup total. Sehingga bukan PHK lagi, tapi pabriknya tutup. Di Bantaeng kita punya 10 tungku, yang beroperasi sisa 7. Kita tidak bisa apa-apa karena memang kondisi nikel anjlok," jelas Uji.
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) juga mencatat sejumlah perusahaan smelter menyetop sebagian lini produksinya di tengah masalah tekanan margin akibat harga nikel yang bertahan di tren bearish
Anggota Dewan Penasihat APNI Djoko Widajatno mengatakan, setidaknya empat perusahaan smelter di Indonesia telah menghentikan sementara atau shutdown sebagian lini produksinya.