Suara.com - Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Komjen (Purn) Ito Sumardi, memberikan analisis tajam yang secara sistematis membongkar kelemahan-kelemahan fundamental dalam penyelidikan awal kasus kematian diplomat muda, Arya Daru Pangayunan.
Dengan pengalamannya sebagai penyidik senior, Ito menyoroti tiga pilar kunci investigasi yang menurutnya goyah: autopsi forensik, analisis CCTV, dan penelusuran digital.
Dari pandangannya, tanda-tanda yang ada lebih kuat mengarah pada sebuah skenario pembunuhan yang direkayasa, ketimbang aksi bunuh diri yang tragis.
Keraguan pada Pilar Autopsi: Mati Dulu, Baru Dilakban?
Bagi Ito Sumardi, kunci pertama dan yang paling fundamental terletak di meja autopsi. Ia menyuarakan keraguan besar terhadap kesimpulan awal bunuh diri, terutama jika tim forensik tidak melakukan pemeriksaan mendalam.
"Kuncinya memang tiga, Mas. Yang pertama adalah ya autopsi yang kedua adalah CCTV. Yang ketiga adalah penelusuran dari digital," ujar dia dikutip dari acara Catatan Demokrasi yang tayang di Youtube tvOneNews.
Menurutnya jika seseorang orang bunuh diri pasti ada cairan yang keluar apakah mungkin sperma ataukah mungkin feses ataukah mungkin air seni. "Kalau tidak bunuh diri, tidak ada keluar sama sekali," katanya.
Lebih jauh, Ito menekankan satu pertanyaan kritis yang hanya bisa dijawab melalui autopsi komprehensif: kapan tepatnya Arya meninggal?
"Nah, sekarang permasalahannya kalau betul ini sudah dilakukan autopsi yang benar, maka dari pemeriksaan torak saja bisa diketahui apakah korban itu sudah meninggal sebelum dilakban ataukah korban itu belum meninggal kemudian dilakban," ujarnya.
Baca Juga: Seksolog Mematahkan Asumsi Liar tentang Fetish di Balik Kematian Diplomat Arya
Jika Arya meninggal sebelum dilakban, maka kasus ini adalah pembunuhan mutlak. Jika ia dilakban saat masih hidup, seharusnya ada tanda perlawanan hebat. Ito mengkhawatirkan kemungkinan terburuk dalam prosedur awal.
"Saya kira saya khawatir saya khawatir mungkin pada saat olah TKP pertama itu hanya dilakukan visum luar. Sehingga tidak ditemukan tanda kekerasan disimpulkan yang bersangkutan bunuh diri," ujarnya, mengisyaratkan potensi kesalahan fatal di langkah paling awal investigasi.
Titik Buta Fatal di CCTV: Pintu Terbuka untuk Pembunuh?
Pilar kedua yang dinilai rapuh adalah analisis rekaman CCTV. Ito, dengan mata seorang penyidik, melihat adanya sebuah "lubang" keamanan yang sangat krusial dan berpotensi menjadi kunci masuk pelaku.
Rekaman menunjukkan Arya keluar membuang sampah, berjalan menyusuri lorong, lalu berbelok ke area titik buta (blind spot) kamera.
"Kita tidak bisa melihat di sebelah kanan ini ada apa yang terjadi, apakah ada orang masuk atau tidak. Karena pasti pintunya tidak terkunci kan. Karena korban ini kan akan kembali... Ini kan korban setelah membuang sampah. Oke. Tidak ada sesuatu aktivitas yang bisa mengawasi di sini kecuali CCTV. Sementara CCTV yang di sisi kanan di sini adalah dalam posisi blind spot," papar dia.