Link Video Syur Diburu, Orangnya Dihujat: Standar Ganda Netizen di Kasus Lisa Mariana

Tasmalinda Suara.Com
Rabu, 16 Juli 2025 | 17:02 WIB
Link Video Syur Diburu, Orangnya Dihujat: Standar Ganda Netizen di Kasus Lisa Mariana
Link video syur Lisa Mariana

Suara.com - Setiap kali skandal video syur meledak, sebuah pola perilaku ironis dari netizen Indonesia selalu terulang, dan kasus Lisa Mariana menunjukkannya dengan sangat jelas.

Di satu sisi, ada hujatan dan penghakiman moral yang deras.

Di sisi lain, ada perburuan masif terhadap link video tersebut. Fenomena ini mengungkap standar ganda yang mengakar kuat di budaya digital kita.

Ketika kasus ini mencuat dan viral di media sosial, linimasa pun dipenuhi kontradiksi yang mencolok namun ironisnya kerap dimainkan oleh figur-figur yang sama.

Di satu sisi, mereka tampil sebagai "Polisi Moral", menghakimi keras Lisa dengan label seperti “wanita tak bermoral,” “perusak generasi,” hingga “aib bangsa.”

Kalimat-kalimat itu dilontarkan seolah mereka adalah penjaga gerbang etika yang tak bercela. Namun di sisi lain, tangan yang sama sibuk mengetik: “link-nya ada?”, “DM videonya dong”, atau “ada yang punya full version?”—menjadikan mereka “Pemburu Link” yang haus sensasi.

Fenomena ini menunjukkan betapa wajah ganda netizen: menghakimi dengan lantang, tapi diam-diam ikut menikmati. Sebuah ironi digital yang merefleksikan hipokrisi massal di era klik dan trending.

Ironisnya, permintaan terhadap konten pornografi inilah yang menciptakan "pasar" dan mendorong penyebarannya.

Para polisi moral yang menghujat di siang hari, bisa jadi adalah pemburu link yang sama di malam hari. Mereka menghukum sang pemeran, tetapi secara aktif menjadi konsumen dari produk yang mereka hujat.

Standar Ganda Berbasis Gender

Dalam banyak kasus, standar ganda ini sangat bias gender. Pemeran wanita seringkali menerima porsi hujatan dan stigma sosial yang jauh lebih besar dibandingkan pemeran pria.

Ketika seorang wanita terseret dalam skandal seksual, publik bereaksi seolah ia telah "merusak harga diri.

Sebaliknya, pria—meski terlibat dalam tindakan yang sama—seringkali luput dari sorotan tajam. Seperti dalam kasus ini, sosok pria bertato yang sudah mengaku sebagai pemeran justru kerap dianggap hanya sedang melakukan "kenakalan biasa".

Hujatan yang menimpanya tak sebanding, bahkan nyaris nihil. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa dalam banyak ruang publik, moralitas masih bersifat selektif dan patriarkal.

Pernahkah kamu melihat standar ganda ini terjadi di sekitarmu? Bagaimana cara kita mengubahnya?

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI