Dosa Politik Jokowi Dikuliti Rocky Gerung, Nasib Warisannya Kini di Tangan Prabowo

Kamis, 17 Juli 2025 | 12:58 WIB
Dosa Politik Jokowi Dikuliti Rocky Gerung, Nasib Warisannya Kini di Tangan Prabowo
Kolase foto Rocky Gerung dan Jokowi. Pengamat politik tersebut pun mengupas yang disebut-sebut kesalahan jokowi (ist)

Suara.com - Panggung politik nasional kembali memanas setelah diskusi panas antara jurnalis senior Akbar Faizal dan filsuf Rocky Gerung dalam sebuah podcast terbaru yang dipublikasikan di YouTube.

Obrolan mendalam ini tak hanya sekadar nostalgia, tetapi menjelma menjadi ajang "kuliti habis" berbagai isu krusial, mulai dari warisan kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga manuver pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto.

Perbincangan yang viral ini menyajikan analisis tajam yang membongkar sisi-sisi tersembunyi dari kekuasaan, memicu perdebatan luas di kalangan publik.

Berikut adalah enam poin paling krusial dan menohok dari dialog antara Akbar Faizal dan Rocky Gerung yang berhasil dirangkum Suara.com.

1. Momen Maaf Akbar Faizal dan Jawaban Filosofis Rocky Gerung

Pengamat Politik, Rocky Gerung. [YouTube/Akbar Faizal]
Pengamat Politik, Rocky Gerung. [YouTube/Akbar Faizal]

Podcast dibuka dengan sebuah momen langka: pengakuan terbuka Akbar Faizal atas kesalahannya di masa lalu, khususnya terkait dukungannya pada pemerintahan sebelumnya yang kerap berseberangan dengan Rocky.

Ia secara jantan meminta maaf atas segala perdebatan sengit yang pernah terjadi.

Namun, Rocky Gerung menanggapinya bukan dengan emosi, melainkan logika.

"Dalam isu publik, menurutnya, tidak ada istilah maaf karena kesalahan adalah kesalahan perhitungan."

Baca Juga: Duh! Rocky Gerung Sentil Keras Jokowi-Gibran, Tapi Puji Megawati dan Beri Harapan ke Prabowo

Jawaban ini menegaskan pandangannya bahwa setiap langkah politik memiliki konsekuensi rasional yang tak bisa dihapus hanya dengan permintaan maaf personal.

2. Kritik Pedas Jokowi: Dihantui Takut dan Dugaan Transaksi 'Under Table'

Presiden ke-7 Jokowi dipastikan akan hadir dalam kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang berlangsung di Kota Solo pada 19-20 Juli 2025 nanti. [Suara.com/Ronald Seger Prabowo]
Presiden ke-7 Jokowi dipastikan akan hadir dalam kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang berlangsung di Kota Solo pada 19-20 Juli 2025 nanti. [Suara.com/Ronald Seger Prabowo]

Inilah sorotan utama yang paling banyak dibicarakan. Rocky Gerung tanpa tedeng aling-aling mengupas kondisi psikologis Jokowi pasca-lengser. Menurutnya, Jokowi kini dihantui dua ketakutan besar.

"Takut dilupakan sejarah dan takut diingat kesalahannya," ujar Rocky. Ketakutan inilah yang dinilai mendorong Jokowi terus melakukan mobilisasi politik demi mengamankan legacy-nya.

Tak berhenti di situ, Rocky juga menyinggung isu sensitif dengan menyebut dugaan adanya transaksi "under table" di era Jokowi sebagai Walikota Surakarta.

Ia juga mengkritik habis proses pembuatan buku "Nawacita" yang dianggapnya sebagai bukti ketidakmampuan Jokowi berargumen secara mendalam.

Bahkan, terkait pencalonan Gibran, Rocky menyebut: "Jokowi tidak melanggar UUD, tetapi melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak."

3. Demokrasi Indonesia: Terjebak Kultur Feodal dan Populisme Semu

Joko Widodo atau Jokwoi bersama putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. (ANTARA News/Hanni Sofia)
Joko Widodo atau Jokwoi bersama putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. (ANTARA News/Hanni Sofia)

Mengapa kepemimpinan Jokowi begitu populer meski minim gagasan ideologis? Rocky Gerung mengurainya dengan menyebut demokrasi Indonesia masih terjebak dalam kultur feodal. Institusi demokrasi hanya sebatas cangkang, sementara nilainya belum meresap.

Populisme Jokowi, menurutnya, tidak dibangun di atas program konkret, melainkan pencitraan dan penampilan publik yang diamplifikasi secara masif oleh media. Media dinilai punya andil besar dalam melambungkan narasi yang tak berakar pada ideologi yang kuat.

4. Paradigma Baru Ancaman Demokrasi: Sipil vs Militer

Presiden Prabowo Subianto saat memberikan arahan kepada para menteri dan wamen di kabinet merah putih. (Foto dok. Prabowo)
Presiden Prabowo Subianto saat memberikan arahan kepada para menteri dan wamen di kabinet merah putih. (Foto dok. Prabowo)

Rocky membalikkan logika umum tentang ancaman demokrasi. Jika dulu militerisme dianggap momok, kini ancaman itu datang dari arah berbeda.

"Momok demokrasi saat ini bukan lagi militer, melainkan orang-orang sipil yang terpilih secara demokratis namun justru merusak demokrasi itu sendiri," tegasnya.

Baginya, yang terpenting bukan latar belakang pemimpin (sipil atau militer), tetapi "civilian value (nilai-nilai sipil)" yang dianut. Seorang militer pun bisa demokratis jika mau berdebat dan bertukar pikiran.

5. Dilema Besar Prabowo: Antara Loyalitas dan 'Amputasi' Warisan Jokowi

Kemesraan Presiden Prabowo dengan Joko Widodo.
Kemesraan Presiden Prabowo dengan Joko Widodo.

Posisi Presiden Prabowo Subianto kini berada di persimpangan jalan yang pelik. Di satu sisi, sebagai sosok militer dan aristokrat, Prabowo menjunjung tinggi etika dan menghormati Jokowi sebagai pendahulunya.

Di sisi lain, publik menuntut adanya koreksi atas kebijakan era Jokowi.

Di sinilah Rocky melontarkan istilah tajam: Prabowo mungkin secara perlahan akan "mengamputasi" proyek-proyek warisan Jokowi. Ini menjadi sinyal kuat kemungkinan adanya pergeseran prioritas di pemerintahan baru.

Saat ini, Rocky mengaku menahan diri mengkritik Prabowo karena "belum ada kebijakan yang dianggap 'menghina rakyat'," dan melihat Prabowo sedang merumuskan ideologi pembangunan yang lebih berkeadilan sosial.

6. Pertaruhan Tertinggi: Jika Gibran Dimakzulkan, Itu Hukuman untuk Jokowi

Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka menemani Prabowo Subianto. (Instagram)
Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka menemani Prabowo Subianto. (Instagram)

Poin ini menjadi puncak diskusi yang paling eksplosif. Pertanggungjawaban masa lalu dianggap krusial. Menurut Rocky, publik kini menantikan sebuah pengadilan atas berbagai dugaan penyimpangan di era Jokowi.

Pernyataan paling kerasnya adalah soal konsekuensi politik ke depan. "Jika Gibran dimakzulkan, itu akan dianggap sebagai hukuman juga bagi Jokowi."

Meski hubungan personal Prabowo-Jokowi mungkin baik-baik saja, dampak politik dari sebuah pemakzulan akan menjadi hukuman telak bagi sang ayah. Ini adalah cara bangsa memulai babak baru, memisahkan urusan personal dan politik demi menciptakan politics of hope.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI