Suara.com - Di tengah maraknya diskusi tentang metode disiplin keras untuk anak, termasuk usulan memasukkan mereka ke barak militer, sebuah pengakuan mengejutkan datang dari Anies Baswedan.
Mantan Menteri Pendidikan ini mengungkap sisi lain dari masa kecilnya yang jarang diketahui publik: ia pernah menjadi anak yang gemar berkelahi, bahkan sampai memukul temannya hingga mimisan.
Namun, solusi yang diterapkan orang tuanya jauh dari hukuman fisik atau paksaan.
Dalam sebuah obrolan mendalam di podcast bersama Tretan Muslim, Anies menceritakan bahwa perilakunya saat itu terinspirasi oleh idolanya, petinju legendaris Muhammad Ali.
Hasratnya untuk meniru sang idola membuatnya sering terlibat perkelahian dan menjadi langganan panggilan sekolah bagi orang tuanya.
"Waktu itu favorit saya namanya Muhammad Ali dan pengin seperti Muhammad Ali. Jadi nonjokin anak-anak semua kan, berantem sana sini," kenang Anies.
Insiden paling membekas adalah ketika pukulannya mendarat telak di wajah seorang teman.
"Pernah saya mukul teman itu sampai mimisan. Dan itu pertama kali saya lihat ada darah keluar hidung dan paniklah saya," ungkapnya.
Rasa panik itu menjadi titik balik, bukan hanya untuknya, tetapi juga bagi orang tuanya dalam mencari cara mendidik yang tepat.
Baca Juga: Cara Cek Penerima dan Mencairkan PIP Kemdikbud 2025
Alih-alih merespons dengan kemarahan atau mengirimnya ke tempat pendidikan ala militer, orang tua Anies memilih pendekatan yang sama sekali berbeda.
Mereka mengidentifikasi sumber masalah dan mencari cara untuk mengalihkan energi berlebih Anies ke arah yang lebih positif.
"Apa yang dikerjakan orang tua saya? Enggak, saya enggak dikirim ke barak. Eh, yang dikerjain di dicoba dikoreksi," jelas Anies.
Solusinya ternyata sederhana namun jenius. Mengetahui Anies sangat gemar bersepeda, mereka membuat sebuah aturan baru.
Anies dilarang bersepeda di jalan raya beraspal dan hanya diizinkan di jalan tanah sekitar kampungnya. Namun, ada satu syarat yang memperbolehkannya melanggar aturan itu.
"Lalu bapak ibu saya ini bilang, 'Anis, naik sepedanya cuma boleh di kampung.' Di kampung itu di jalan tanah. Enggak boleh ke jalan aspal. Terus dia bilang, 'Tapi kalau mau ke jalan raya boleh, syaratnya perginya ke perpustakaan'," tutur Anies.
Motivasi awalnya memang bukan untuk membaca.
Kesempatan untuk bisa bersepeda di jalan aspal sejauh hampir 4 kilometer menuju perpustakaan menjadi daya tarik utama.
Namun, kebiasaan baru ini secara perlahan mengubah segalanya. Sesampainya di perpustakaan, ia mau tidak mau harus meminjam buku.
Aktivitas sorenya yang biasa diisi dengan potensi konflik seperti bermain kelereng atau berebut layangan, kini tergantikan dengan perjalanan bersepeda dan membaca.
Energinya tersalurkan, dan masalah perkelahian pun terselesaikan dengan sendirinya tanpa perlu ada hukuman.
Bagi Anies, ini adalah contoh nyata bagaimana pendidikan seharusnya bekerja: bukan dengan memaksa, tetapi dengan memahami dan mengarahkan.
"Jadi saya menjadi baca meskipun Bapak enggak pernah bilang, 'Anis baca buku itu penting ya masa depan enggak enggak pernah ngomong begitu.' Tapi Anda senangnya naik sepeda kan, boleh, tapi ke perustakaan," tegasnya.
Anies menggarisbawahi bahwa kunci mendidik anak adalah dengan menyediakan 'landasan pacu' yang tepat bagi energi dan minat mereka, bukan dengan mematahkannya melalui hukuman.