
Logika ini dipatahkan oleh Ferry Irwandi, "Fungsi utama pemerintah itu menyejahterakan rakyat, bukan memaksimalkan profit BUMN."
Jika logika ini terus digunakan, setiap kebijakan yang tidak menguntungkan BUMN bisa dianggap sebagai tindak pidana.
2. Misi Utama Pejabat: Stabilitas Harga atau Keuntungan Korporasi Negara?
Kasus ini memaksa kita bertanya: apa sebenarnya tugas utama seorang Menteri Perdagangan?
Menjaga harga pangan tetap terjangkau bagi 270 juta rakyat Indonesia, atau memastikan BUMN mencetak laba setinggi-tingginya?
Kebijakan Tom Lembong jelas bertujuan untuk yang pertama.
Di tengah ancaman kenaikan harga menjelang Lebaran, ia mengambil langkah pragmatis tercepat untuk melindungi daya beli masyarakat.
Namun, vonis hakim seolah mengirim pesan bahwa melindungi rakyat dari inflasi tidak lebih penting daripada menjaga "potensi profit" sebuah badan usaha milik negara.
Ini adalah preseden yang membingungkan dan berbahaya bagi para pengambil kebijakan di masa depan.
Baca Juga: Mahfud MD: Kalau Saya Hakimnya, Banding Tom Lembong Dikabulkan!
3. Mengabaikan Realitas Lapangan: Birokrasi Lambat vs Kebutuhan Cepat
Mengapa swasta yang ditunjuk? Persidangan mengungkap fakta bahwa pada 2016, BUMN dinilai tidak memiliki kecepatan dan kesiapan untuk mengatasi potensi kelangkaan gula secara mendesak. Keputusan
Tom Lembong bukanlah tindakan gegabah, melainkan pilihan strategis berdasarkan efisiensi di lapangan.
Namun, vonis tersebut seolah mengabaikan konteks kedaruratan ini. Langkah yang diambil untuk mengatasi masalah nyata di depan mata justru dibingkai sebagai perbuatan kriminal yang lebih mementingkan swasta.
Ini menunjukkan adanya jurang pemahaman antara realitas pengambilan kebijakan yang dinamis dengan interpretasi hukum yang kaku dan formalistis.
Pengajuan banding Tom Lembong kini menjadi pertaruhan tentang akal sehat dalam kebijakan publik.