Kreasi Edi Sound, Kisah Pelopor Sound Horeg: Kreativitas Tanpa Batas atau Kontroversi Nasional

Senin, 28 Juli 2025 | 13:48 WIB
Kreasi Edi Sound, Kisah Pelopor Sound Horeg: Kreativitas Tanpa Batas atau Kontroversi Nasional
Ilustrasi sound horeg yang mulai jadi sorotan publik. (Google AI Studio)

Suara.com - Getaran bass yang terasa hingga ke dada, dinding rumah yang ikut bergetar, dan dentuman musik yang memekakkan telinga dari kejauhan.

Bagi sebagian orang, ini adalah puncak kemeriahan sebuah karnaval atau hajatan.

Namun bagi sebagian lainnya, ini adalah teror polusi suara yang mengganggu.

Inilah realitas dari fenomena "sound horeg", sebuah tren audio ekstrem yang kini menjadi pedang bermata dua di tengah masyarakat Indonesia.

Di balik gemuruh yang membelah opini ini, ada satu nama yang sering disebut sebagai pelopornya: Edi Purnomo, atau yang lebih dikenal sebagai Edi Sound.

Perjalanannya menjadi figur sentral dalam dunia sound system tidak terjadi dalam semalam. Berawal dari kecintaannya pada dunia audio di Jawa Timur, Edi Sound bereksperimen untuk menciptakan pengalaman suara yang tak terlupakan.

Ia ingin hajatan atau acara kampung tak lagi monoton, melainkan menjadi sebuah pertunjukan spektakuler yang bisa dinikmati dari segala penjuru.

Hasilnya adalah racikan sound system berkekuatan ribuan watt yang mampu menghasilkan suara menggelegar, yang kemudian populer dengan sebutan 'horeg' (bahasa Jawa: bergerak tak karuan/heboh).

Popularitas sound horeg meroket, terutama di kalangan anak muda dan komunitas pecinta audio.

Baca Juga: Hobi Mahal! Ini Rincian Biaya Bikin Sound Horeg, Si Perontok Genteng yang Lebih dari Rp100 Juta

Edi Sound, MaestroSound Horeg dari Jatim
Edi Sound, MaestroSound Horeg dari Jatim

Fenomena ini melahirkan 'battle sound', sebuah ajang adu gengsi antar penyedia jasa sound system untuk membuktikan siapa yang paling kuat dan paling 'horeg'.

Bagi para pelakunya, ini adalah bentuk ekspresi seni, inovasi teknologi audio, sekaligus ladang bisnis yang menggiurkan.

Satu rig sound system horeg bisa bernilai ratusan juta hingga miliaran rupiah, menjadi simbol status dan kebanggaan bagi pemiliknya.

Namun, di sinilah polemik dimulai. Kekuatan suara yang masif ini ternyata membawa dampak destruktif.

Laporan mengenai kaca jendela rumah warga yang pecah, dinding retak, hingga genteng berjatuhan akibat getaran sound horeg menjadi berita lazim.

Lebih dari sekadar kerusakan fisik, dampak kesehatan seperti gangguan pendengaran dan stres akibat kebisingan ekstrem menjadi ancaman nyata.

Puncaknya, beberapa pemerintah daerah seperti di Malang dan Blitar secara tegas melarang penggunaan sound horeg dalam parade atau karnaval karena dianggap lebih banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaat.

Edi Sound sendiri, sebagai sosok yang dianggap memulai tren ini, berada di persimpangan jalan.

Kreasinya telah menjadi budaya populer sekaligus sumber konflik sosial. Dalam sebuah kesempatan, ia pernah merefleksikan fenomena ini.

Beberapa pegiat sound ini hanya ingin membuat acara hajatan itu lebih meriah, lebih berkesan. Tapi kalau sekarang kreasi itu malah membuat tetangga tidak nyaman atau bahkan merusak, tentu itu jadi bahan renungan besar buat semua orang yang terjun di industri ini.

Kehadiran sound horeg masih jadi dilema yang dihadapi para pegiatnya.

Di satu sisi ada semangat kreativitas dan bisnis, di sisi lain ada tanggung jawab sosial yang tak bisa diabaikan.

Fenomena sound horeg bukan lagi sekadar soal kerasnya volume, melainkan telah berevolusi menjadi cerminan kompleks tentang bagaimana sebuah inovasi hiburan bisa berbenturan langsung dengan ketertiban dan kenyamanan publik.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI