Suara.com - Jumlah penderita penyakit ginjal kronis di Indonesia terus meningkat, termasuk penyandang disabilitas. BPJS Kesehatan bukan sekadar kartu, melainkan napas baru yang menjaga detak kehidupan.
Lorong Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Panembahan Senopati, Bantul, DI Yogyakarta (DIY) terasa riuh siang itu. Dwi Windharta (48) duduk di atas kursi roda. Di belakangnya, sang kakak mendorong kursi roda itu menyusuri lorong demi lorong rumah sakit menuju gedung bertuliskan Instalasi Dialisis.
Bau antiseptik menusuk hidung, bercampur suara perawat memanggil satu per satu nama pasien. Seperti biasa, antrean panjang memenuhi ruang tunggu unit cuci darah itu.
“Banyak pasiennya, alatnya terbatas. Kalau datang telat, pulangnya makin malam,” ujar Dwi kepada Suara.com, Sabtu (19/7/2025).

Sudah satu tahun ini, akhir pekan Dwi diwarnai rutinitas yang tak bisa ditawar. Ia harus ke RS, menunggu antrean, dipasang jarum ke pembuluh darah, lalu menunggu lagi selama empat jam sementara mesin Hemodialisis (HD) membersihkan darahnya.
Pada 2008, Dwi didiagnosis mengalami sindrom nefrotik, gangguan ginjal yang membuat protein keluar lewat urine. Ia mengaku termasuk pecinta minuman manis, terutama teh manis, tetapi jarang minum air putih. Kebiasaan itu kini diyakini sebagai salah satu penyebab kerusakan ginjalnya.
“Selesai makan minumnya teh manis. Kalau air putih rasanya nggak enak,” ujarnya.
Tahun 2022, Dwi didiagnosis hipertensi dan harus rutin minum obat guna menstabilkan tekanan darah. Ia kemudian divonis menderita Penyakit Ginjal Kronis (PGK) stadium 5. Kini, ia hanya bisa bertahan dengan HD seumur hidupnya.
Beruntungnya, seluruh biaya HD ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Ia terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibiayai Pemda Bantul, tempatnya tinggal.
"Alhamdulillah dijamin BPJS Kesehatan," kata Dwi.

Beban Ganda yang Dipikul
Sejak kecil, Dwi hidup dengan disabilitas fisik akibat kelainan pada kedua kakinya. Kini, bukan hanya keterbatasan fisik yang membayangi, tetapi juga ginjalnya yang berhenti berfungsi. Tak ada gejala yang dirasakan sampai suatu hari ia mengalami muntah, batuk dan sesak napas.
Dengan tubuh kian lemah, ia dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Panembahan Senopati. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan kadar haemoglobin Dwi hanya 3 g/dL, idealnya antara 13-17 g/dL.
"Langsung rawat inap, transfusi darah empat kantong. Baru ketahuan kena PGK," ujar Dwi.
Dwi sempat mencoba bertahan tanpa HD karena cuci darah menjadi momok baginya. Istrinya juga penyandang disabilitas fisik yang menggunakan kursi roda untuk beraktifitas. Mobilitasnya ke RS semakin sulit.
"Saya pakai kursi roda. Gimana nanti pulang pergi dari rumah ke RS? Penginnya sembuh," kata Dwi.

Namun, ginjalnya sudah tak bisa diajak kompromi. Tubuhnya mengalami bengkak akibat penumpukan cairan. Dokter mewajibkan Dwi menjalani HD satu sampai dua kali seminggu saat kondisinya memburuk.
Keterbatasan fisik membuat Dwi harus menggunakan ambulans untuk mobilitas dari rumah ke RS. Beruntung, banyak lembaga menyediakan ambulans gratis.
Tetapi, ternyata HD membawa efek samping pusing, mual dan muntah hingga membuatnya terpaksa berhenti bekerja sebagai penjual mainan anak. Efek samping yang dirasakan ditambah tekanan finansial membuatnya sempat ingin menyudahi rutinitas HD.
“Sama dokter disemangati. Sekarang membaik, nggak nyaman cuma semalam saja,” kata Dwi.
Peningkatan Kasus PGK
Kisah Dwi tak lepas dari budaya kuliner manis khas DIY. Namun, di balik pesona itu, data menunjukkan sisi lain. Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2018 mencatat kenaikan prevalensi Penyakit Tidak Menular (PTM) dalam lima tahun terakhir dan pada 2023 DIY masuk 12 provinsi dengan kasus PGK tertinggi.
Data Surveilans Terpadu Penyakit (STP) RS rawat inap DIY mencatat 3.415 kasus PGK pada Januari–Juni 2025, jumlahnya hampir menyamai total kasus baru sepanjang 2024 yakni 4.953 kasus meski baru setengah tahun berjalan.

Kepala Dinas Kesehatan DIY, Pembajun Setyaningastutie menyebut lonjakan PGK di DIY banyak dipengaruhi gaya hidup tidak seimbang. Asupan berlebih tanpa aktivitas fisik membuat ginjal bekerja keras sehingga memicu hipertensi dan diabetes yang berujung pada PGK.
"Selain itu berlebihan konsumsi obat-obatan dan paparan pikiran," kata Pembajun kepada Suara.com.
Dinas Kesehatan DIY terus menggiatkan program perilaku hidup bersih dan sehat serta gerakan masyarakat hidup sehat untuk menekan laju kasus PGK.
"Kami fokus edukasi pola asuh makan seimbang sasaran seluruh masyarakat," ujar Pembajun.
PGK Dijamin BPJS Kesehatan
Selama lima tahun terakhir, kasus PGK yang dijamin BPJS Kesehatan mengalami kenaikan. Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah mengatakan pengeluaran terbesar BPJS Kesehatan digunakan untuk membayar biaya pelayanan kesehatan penyakit katastropik, salah satunya PGK.
"Biaya penyakit katastropik tahun 2024 menghabiskan 21,32 persen dari total biaya pelayanan kesehatan yang dibayarkan BPJS Kesehatan ke fasilitas kesehatan," kata Rizzky kepada Suara.com.

Peningkatan pembiayaan PGK di Indonesia menunjukkan bertambahnya peserta Jamian Kesehatan Nasional (JKN) yang membuat akses layanan kesehatan lebih luas, sekaligus dipicu oleh kenaikan tarif rumah sakit dan harga obat.
BPJS Kesehatan menanggung seluruh biaya perawatan PGK sesuai indikasi medis dari dokter. Peserta JKN cukup memastikan kepesertaan aktif dan mengikuti prosedur yang berlaku saat mengakses layanan.
"Tidak ada limit pembiayaan. BPJS Kesehatan menjamin biaya pelayanan kesehatan yang memerlukan perawatan jangka waktu lama sampai seumur hidup, seperti cuci darah," ujar Rizzky.
BPJS Kesehatan juga memberikan kemudahan perpanjangan rujukan khusus pasien HD. Surat rujukan berlaku selama 90 hari dan dapat diperpanjang langsung di RS melalui aplikasi V-Claim.
"Pasien tidak perlu ke FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) untuk perpanjang rujukan," kata Rizzky.

Kenali Faktor Risiko PGK
Internist konsultan ginjal hipertensi RSUD dr Soetomo, dr. Decsa Medika Hertanto, SpPD, KGH, FINASIM menyoroti peningkatan kasus PGK tidak hanya terjadi DIY, tetapi juga secara nasional. Unit HD di hampir semua RS kini penuh, banyak yang kewalahan menghadapi ledakan pasien cuci darah.
"Tidak mudah cari RS yang kosong, rata-rata unit HD penuh karena banyaknya pasien PGK," ujar dr. Decsa kepada Suara.com.
Banyak faktor risiko pemicu PGK, mulai dari demografi masyarakat, perubahan kebiasaan makan dari real food ke ultra processed food, minim aktivitas fisik, perubahan pola tidur, stres hingga kecemasan.
"Faktor-faktor ini kalau dikumpulkan bisa mengganggu fungsi ginjal," katanya.
Di Indonesia, penyebab PGK yang paling banyak ditemui berawal dari diabetes dan hipertensi. Masyarakat perlu memahami faktor risiko PGK sebab penyakit ini tidak menimbulkan gejala pada stadium awal. Gejala baru muncul saat memasuki stadium empat atau lima.
Dokter yang juga berpraktik di RS Darmo ini menyarankan masyarakat berusia 25 tahun ke atas untuk rutin medical check up setidaknya setahun sekali guna memantau kesehatan ginjal.

Ia mengapresiasi BPJS Kesehatan yang menjamin seluruh pembiayaan perawatan PGK. Tanpa cuci darah, kondisi pasien bisa lebih buruk.
"Beruntung karena BPJS bisa cover, pasien mendapat layanan cuci darah," ujarnya.
dr. Decsa berharap pemerintah menggencarkan edukasi kesehatan agar masyarakat lebih memahami faktor risiko PGK, sehingga kasusnya dapat ditekan.
Hal ini selaras dengan program BPJS Kesehatan yang mengalokasikan anggaran khusus untuk layanan promotif dan preventif, di samping pembiayaan kuratif.
"Kami dari sisi Upaya Kesehatan Perorangan, sementara Kemenkes dari sisi Upaya Kesehatan Masyarakat," kata Rizzky.
Sementara itu, Dwi berharap kesehatannya tetap stabil selama menjalani pengobatan. Ia bersyukur terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan PBI sehingga terbebas dari kewajiban membayar premi bulanan.
“Jadi lebih mudah mengakses layanan kesehatan,” ujar Dwi.