Suara.com - Bangunan yang seharusnya ramai oleh suara tangis dan tawa bayi serta menjadi andalan para ibu untuk memantau kesehatan anak, kini telah rata dengan tanah dan berubah menjadi rumah hunian pribadi.
Inilah puncak dari kasus korupsi yang menjerat Heni Mulyani alias Mamih Heni, Kepala Desa atau Kades Cikujang, Sukabumi, yang tega menjual aset Posyandu demi kepentingan pribadinya.
Kasus ini terungkap setelah Kejaksaan Negeri (Kejari) Sukabumi menerima pelimpahan berkas perkara dari Polres Sukabumi Kota pada Senin (28/7/2025).
Heni Mulyani, yang kini telah ditahan di Lapas Perempuan Sukamiskin, Bandung, tidak hanya terjerat kasus penyelewengan dana desa, tetapi juga skandal penjualan aset vital masyarakat.
Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Sukabumi, Agus Yuliana, membenarkan bahwa salah satu item dalam kerugian negara senilai Rp500 juta tersebut adalah penjualan bangunan Posyandu.
“Betul, termasuk dugaan jual-beli aset desa. Salah satu item-nya, bangunan Posyandu yang telah dijual dan berubah fungsi menjadi rumah hunian,” kata Agus.
Posyandu yang diketahui bernama Anggrek 09 itu dijual oleh Heni pada Agustus 2022 seharga Rp46 juta kepada salah seorang warga. Sejak saat itu, fasilitas publik yang krusial bagi kesehatan ibu dan anak tersebut lenyap, digantikan oleh bangunan pribadi.
Pihak kejaksaan menegaskan bahwa aksi nekat ini dilakukan Heni Mulyani semata-mata untuk memperkaya diri sendiri. Uang hasil korupsi, termasuk dari penjualan Posyandu, tidak digunakan untuk kegiatan pemerintahan desa, melainkan untuk kebutuhan pribadinya.
“Hasil penyelidikan dan penyidikan penyidik, dana digunakan untuk kepentingan pribadi. Bukan untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemerintahan desa,” ungkap Agus.
Baca Juga: Terjerat Korupsi, Kades Perempuan di Sukabumi Ini Malah Cengengesan Saat Ditahan
Dalam kasus ini, Heni Mulyani menjadi tersangka tunggal. Menurut Agus, tidak ada keterlibatan pihak lain dalam penyelewengan dana tersebut. “Tersangka hanya kepala desa (Heni Mulyani), yang menikmati penggunaan dana desa sendiri,” jelasnya.
Kini, Heni harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia dijerat Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor, dengan ancaman hukuman pidana paling singkat empat tahun kurungan penjara, sambil menunggu berkas perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Bandung.