Selama dua minggu, ia bergelut dengan duka dan puing-puing bencana.
“Selama dua minggu, saya dan tim mengevakuasi ratusan jenazah. Berat, tapi saya merasa bangga bisa membantu sesama,” kenangnya, tatapannya menerawang jauh.
Panggilan jiwa untuk dunia kemanusiaan memang telah tumbuh sejak ia masih bocah.
Saat konflik Timor-Timor pecah pada 1975, Syafii yang kala itu baru duduk di bangku kelas 4 SD sudah terbiasa melihat para korban luka dan pengungsi dibantu di lingkungan asramanya. Pemandangan itu mengukir jejak mendalam di hatinya.
“Itu menumbuhkan jiwa kemanusiaan saya sejak dini,” ujarnya.
Jalan hidupnya pun tak pernah jauh dari pelayanan. Sebelum di BPBD, ia aktif di kegiatan remaja pecinta lingkungan saat bersekolah di SMA Cokroaminoto Palopo.
Lalu terlibat selama 10 tahun dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
Kisah Lalu Syafii adalah cerminan dari pengabdian yang tulus. Sebuah pengingat bahwa di balik seragam dan jabatan, ada hati yang bekerja tanpa pamrih.
Baginya, status ASN yang datang di penghujung karir adalah sebuah kado terindah, sebuah pengakuan manis atas jalan sunyi yang telah ia tempuh seumur hidupnya.
Baca Juga: Siap-siap! ASN dari 15 Kementerian/Lembaga Akan Pindah ke IKN
"Kemanusiaan itu bukan sekadar pekerjaan," pungkasnya dengan senyum bijaksana, "tapi memang sudah hobi dan jalan hidup saya."