Ia menambahkan, "Anggap aja kayak barang gitu. (Seperti) properti, rumah, tanah, mobil gitu, punya-punya lo. Punya lo, bukan punya negara."
Menurutnya, negara harus meminta izin terlebih dahulu ke pada pemilik data pribadi tersebut jika ingin digunakan.
Apabila tidak dapat persetujuan, maka negara atau siapa saja tidak boleh menggunakannya.
"Jadi kalau negara mau pakai data pribadi kita untuk sesuatu, (itu) boleh, tapi harus dengan consent kita, harus dengan izin kita. Kalau kita bilang tidak, yah nggak boleh," lanjutnya.
Fathian juga menyinggung soal kesepakatan 19 persen antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Di mana kesepakatan itu mengenai tarif perdagangan.
Kesepakatan ini menetapkan tarif sebesar 19% untuk produk Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat, sebagai ganti dari tarif sebelumnya yang mencapai 32% according to the Australian Broadcasting Corporation.
"Sekarang pemerintah bikin kesepakatan sama Amerika. Kita bayar 19 persen, dan data pribadi kita ditransfer. Lu bayangin, udah bayar data pribadi kita, mereka bisa dapat kayak gitu, nggak melanggar HAM (katanya)?! Udah gila kali lo!," tegasnya.
Sekali lagi ia diduga menyinggung pengetahuan Pigai soal hak asasi. Fathian menyebut, HAM bukan hanya soal penyiksaan atau konteks kekerasan lainnya.
Baca Juga: Kontroversi Transfer Data WNI ke AS: Jaminan HAM Pigai Cuma Redakan Krisis Kepercayaan Publik?
"HAM itu tidak hanya seputar disiksa, dipenjara, diculik, dan apa (yang berkonteks kekerasan). (HAM) itu juga hak lo soal privasi. Dan kalau negara mulai bagi-bagi data lo ke negara lain tanpa merasa ada melanggar apapun, ya siap-siap aja, besok yang hilang bukan cuman data lo, tapi yang lain," tuturnya.