“Kalau tiangnya rapuh, negara bisa runtuh. Kita pernah dijajah 3,5 abad, apa kita mau dijajah lagi? Jangan! Karena penjajahan itu sakit sekali,” kata Megawati.
Kristian menilai, ini bukan hanya pidato nostalgia, tapi manuver cermat untuk memastikan posisi Megawati tetap menjadi pusat gravitasi politik partai.
"Dengan demikian, Megawati tidak hanya sedang menjaga kesinambungan ideologis dan struktural partai, tetapi juga sedang menegaskan peran dirinya sebagai sumber otoritas moral dan politik utama dalam dinamika internal PDIP," bebernya.
Ia menyimpulkan, pesan Megawati merefleksikan ketegangan abadi antara idealisme dan realpolitik.
Di tengah turbulensi politik usai pemilu, PDIP tampak sedang memperkuat akar agar tak tumbang dalam badai.
"Pesan ini mencerminkan bahwa ketegangan antara idealisme perjuangan dan realitas politik kekuasaan tetap menjadi titik krusial dalam perjalanan partai besar seperti PDI-P, dan Megawati tampak memilih untuk meneguhkan kembali struktur hierarkis partai sebagai strategi bertahan menghadapi turbulensi politik yang akan datang," tutur Kristian.