"Kenapa Minta Sedikit?" Pengakuan Mbak Ita Ungkap Mentalitas Korupsi Pejabat?

Kamis, 07 Agustus 2025 | 22:30 WIB
"Kenapa Minta Sedikit?" Pengakuan Mbak Ita Ungkap Mentalitas Korupsi Pejabat?
Mantan Wali Kota Semarang Hevearita G. Rahayu alias Mbak Ita, saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin. (ANTARA/I.C. Senjaya)

Suara.com - Kasus korupsi Mbak Ita ini membuka kotak pandora yang memperlihatkan carut marutnya hubungan atasan-bawahan dalam birokrasi, di mana batas antara loyalitas, inisiatif, dan jebakan menjadi sangat kabur.

Dalam pledoinya, Mbak Ita dengan tegas membantah telah memeras atau bahkan proaktif meminta uang dari dana yang disebut "Iuran Kebersamaan".

Dana ini diduga dikumpulkan dari berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan dikelola oleh Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) saat itu, Indriyasari alias Iin.

"Terkait Iuran Kebersamaan, ini adalah yang paling menghabiskan energi di dalam persidangan. Karena awalnya sejatinya sejak awal saya tidak pernah namanya meminta bahkan kata-kata yang keluar dari mulut Kepala Bapenda yaitu memeras," ungkap Mbak Ita di hadapan majelis hakim.

Ia menggambarkan dirinya sebagai korban dari inisiatif bawahannya. Menurutnya, Indriyasari datang sendiri untuk menyerahkan uang tersebut dengan dalih sebagai "tambahan operasional," bahkan mencatut nama mantan wali kota sebelumnya.

Mbak Ita mengaku khilaf karena telah mengiyakan pemberian tersebut, sebuah pengakuan yang justru menjadi bumerang.

Logika Terbalik: 'Kalau Tahu Banyak, Kenapa Saya Minta Sedikit?'

Di sinilah argumen Mbak Ita mengambil tikungan yang paling tajam dan mengundang perdebatan.

Alih-alih membuktikan dirinya bersih, pembelaannya justru terdengar seperti sebuah kalkulasi yang salah.

Baca Juga: KPK Beberkan Aliran Rp28,38 M ke Kantong 2 Anggota DPR dari Dana CSR Bank Indonesia

Ia mempertanyakan logika tuduhan pemerasan dengan menyoroti jumlah uang yang diterimanya, yang dianggapnya terlalu kecil dibandingkan total dana yang terkumpul.

"Buat apa saya memeras? Kalau saya memeras, kalau saya tahu terkait dengan jumlah iuran yang ada sebanyak Rp600 juta atau mungkin bahkan kemarin saya baru baru tahu ada sampai Rp1 miliar, kenapa saya hanya meminta 300? Mbok iyo, saya ini bisa minta semuanya," terangnya dengan nada penuh penekanan.

Pernyataan ini, bagi sebagian kalangan, terdengar seperti blunder fatal.

Alih-alih membersihkan namanya, kalimat tersebut justru bisa diinterpretasikan sebagai penyesalan karena tidak memaksimalkan "peluang" korupsi yang ada.

Bagi generasi muda yang semakin kritis terhadap pejabat publik, logika semacam ini bukan hanya sulit diterima, tetapi juga memperkuat sinisme terhadap mentalitas korup yang mungkin telah mengakar.

Saksi Kunci vs. Terdakwa: Peran Indriyasari dalam Drama Birokrasi

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang Indriyasari saat diperiksa sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan suap mantan Wali Kota Semarang di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (30/6/3025). [ANTARA/I.C. Senjaya]
Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang Indriyasari saat diperiksa sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan suap mantan Wali Kota Semarang di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (30/6/3025). [ANTARA/I.C. Senjaya]

Pledoi Mbak Ita menempatkan Indriyasari, sang saksi kunci, sebagai episentrum masalah. Mbak Ita berusaha membangun jarak dengan mengklaim bahwa hubungannya dengan Kepala Bapenda itu tidak akrab.

"Saya tidak akrab, saya tidak dekat dengan kepala Bapenda. Karena saya tahu posisi saya sehingga saya membatasi pertemuan-pertemuan, membatasi pergaulan-pergaulan dengan orang-orang yang seperti itu. Yang bersangkutan datang sendiri, yang bersangkutan datang dan memberikan angka sebesar itu," paparnya.

Pengakuan ini melukiskan potret birokrasi yang penuh intrik.

Di satu sisi, ada seorang atasan yang mengaku menjaga jarak.

Di sisi lain, ada bawahan yang (menurut versi Mbak Ita) proaktif memberikan "upeti" untuk dana operasional.

Fenomena "asal bapak senang" atau inisiatif bawahan untuk "mengamankan" posisi atasan adalah praktik yang sering terdengar dalam birokrasi yang tidak sehat.

Namun, dalam kasus ini, inisiatif tersebut berakhir dengan tuduhan saling menjebak dan lempar tanggung jawab di pengadilan.

Potret Birokrasi Rusak: Siapa Menjebak Siapa?

Kasus korupsi Mbak Ita lebih dari sekadar cerita tentang seorang individu.

Ini adalah cermin dari sistem birokrasi yang mungkin telah lama rusak. Beberapa poin penting yang bisa kita tarik adalah:

Zona Abu-abu "Dana Taktis": Istilah seperti "Iuran Kebersamaan" atau "dana operasional tambahan" adalah celah rawan korupsi.

Tanpa regulasi yang jelas dan transparan, dana ini menjadi sumber godaan yang sulit ditolak.

Putusnya Rantai Komando dan Pengawasan: Seorang pemimpin yang mengaku "tidak tahu" adanya pengumpulan dana besar-besaran di lingkungan kerjanya menunjukkan lemahnya sistem pengawasan internal.

Loyalitas yang Toksik: Hubungan atasan-bawahan yang didasari oleh pemberian materi, bukan kinerja, menciptakan lingkungan yang tidak sehat dan penuh potensi pengkhianatan saat masalah muncul.

Pada akhirnya, pledoi Mbak Ita meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Apakah ia benar-benar korban yang naif dan dijebak? Ataukah ia seorang politisi berpengalaman yang pembelaannya justru mengungkap pola pikir yang sesungguhnya?

Publik, terutama generasi milenial dan Z yang mendambakan pemerintahan bersih, tidak lagi mudah terbuai oleh tangisan di ruang sidang.

Mereka menuntut akuntabilitas, transparansi, dan yang terpenting, integritas yang tidak bisa ditawar-tawar.

Drama saling lempar tanggung jawab ini harus menjadi momentum untuk perbaikan sistemik, bukan sekadar tontonan tragis di panggung pengadilan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI