Rumah Ngontrak, Pajak Rp 28 Miliar: 6 Fakta di Balik Kisah Syok Tukang Jahit Pekalongan

Tasmalinda Suara.Com
Sabtu, 09 Agustus 2025 | 23:22 WIB
Rumah Ngontrak, Pajak Rp 28 Miliar: 6 Fakta di Balik Kisah Syok Tukang Jahit Pekalongan
ilustrasi penjahit Pekalongan

Suara.com - Sebuah kisah yang terasa seperti lelucon paling absurd namun nyata terjadi di Pekalongan. Seorang tukang jahit sederhana bernama Slamet tiba-tiba ditimpa "durian runtuh" dalam bentuk tagihan pajak senilai Rp 28 Miliar.

Padahal, untuk makan sehari-hari saja ia harus berjuang, dan rumah pun masih mengontrak.

Kisah viral ini bukan sekadar cerita lucu, melainkan sebuah mimpi buruk yang bisa menimpa siapa saja.

Ini adalah alarm keras tentang bahaya pencurian data pribadi. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Berikut adalah 6 fakta paling mengejutkan di balik kasus ini.

Slamet, tukang jahit asal Pekalongan, hanya bisa pasrah saat menerima surat tagihan pajak yang mustahil.

1. Angka Tagihan yang Absurd: Rp 28.166.419.004

Fakta pertama adalah angka itu sendiri. Bayangkan, seorang tukang jahit dengan penghasilan tidak menentu tiba-tiba menerima Surat Tagihan Pajak (STP) dengan nilai Rp 28,1 Miliar.

Angka ini cukup untuk membeli puluhan rumah mewah, bukan sesuatu yang bisa dibayangkan oleh seseorang yang bahkan tidak memiliki rumah sendiri.

"Syok, kaget sekali," ujar Slamet. Tentu saja, siapa yang tidak akan syok?

Baca Juga: 5 Fakta Tukang Jahit di Pekalongan Syok Ditagih Pajak Rp 2,8 Miliar, Padahal Tinggal di Gang Sempit!

2. Realita Hidup yang Jauh dari Kemewahan

Kontras antara tagihan dan realita hidup Slamet adalah inti dari ironi ini. Ia adalah seorang tukang jahit biasa di Pekalongan.

Ia tidak memiliki perusahaan, tidak punya aset miliaran, bahkan tempat tinggalnya pun masih berstatus kontrak.

Kehidupannya yang sederhana membuat tagihan pajak fantastis tersebut menjadi sebuah misteri besar yang menakutkan.

3. Misteri Terkuak: Namanya Dicatut Sebagai 'Direktur'

Setelah memberanikan diri mendatangi kantor pajak, kebenaran yang mengerikan akhirnya terungkap.

Slamet adalah korban pencurian identitas. Nama dan NPWP-nya telah disalahgunakan oleh pihak tak bertanggung jawab untuk mendirikan sebuah perusahaan (CV).

Yang lebih mengejutkan, dalam akta perusahaan fiktif itu, nama Slamet tercatat sebagai Direktur. Ia menjadi "bos" di atas kertas tanpa pernah tahu atau menerima sepeser pun uang.

4. Modus 'Mafia NPWP': Orang Kecil Jadi Tameng

Kasus Slamet diduga kuat merupakan modus kejahatan kerah putih yang sering disebut "mafia NPWP".

Pelaku sengaja mencari data pribadi (KTP & NPWP) dari masyarakat dengan profil ekonomi lemah. Data ini kemudian digunakan sebagai "tameng" untuk mendirikan perusahaan bodong. Perusahaan ini lalu dipakai untuk transaksi besar, namun pajaknya tidak pernah dibayarkan.

Ketika negara menagih, yang dikejar adalah nama direktur yang tercatat: sang korban yang tidak tahu apa-apa.

5. Tagihan Akan Dihapus, Tapi Trauma Tetap Ada

Beruntung bagi Slamet, KPP Pratama Pekalongan merespons dengan baik. Menyadari adanya kejanggalan, mereka berjanji akan melakukan investigasi dan membatalkan tagihan pajak tersebut.

6. Slamet kemungkinan besar akan terbebas dari utang fiktif ini.

Namun, kasus ini meninggalkan pelajaran dan trauma. Ini adalah bukti nyata bahwa selembar fotokopi KTP atau data NPWP yang kita anggap sepele bisa menjadi tiket menuju mimpi buruk jika jatuh ke tangan yang salah.

Kisah Slamet ini benar-benar membuka mata kita tentang bahaya penyalahgunaan data.

Punya tips jitu untuk menjaga keamanan data pribadi agar tidak jadi korban seperti Slamet?

Yuk, bagikan di kolom komentar!

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI