Kang Maman: Fenomena Bendera One Piece Picu Trauma, Imajinasi Rakyat Dibatasi Aparat

Senin, 11 Agustus 2025 | 12:25 WIB
Kang Maman: Fenomena Bendera One Piece Picu Trauma, Imajinasi Rakyat Dibatasi Aparat
Seorang pemuda mengibarkan bendera Jolly Roger One Piece di area publik. [ChatGPT]

Suara.com - Fenomena pengibaran bendera One Piece yang direspons secara represif oleh aparat memunculkan kekhawatiran baru di tengah masyarakat: pembatasan ruang imajinasi dan penciptaan trauma sosial.

Tindakan aparat yang sampai mendatangi rumah warga untuk menurunkan bendera bajak laut fiktif ini dinilai banyak pihak sebagai langkah berlebihan yang justru menebar ketakutan.

Polemik ini menjadi perbincangan hangat, salah satunya dalam diskusi antara pengamat politik Hendri Satrio dan budayawan Maman Suherman.

Keduanya menyoroti bagaimana pemerintah seolah gagal memahami pesan di balik sebuah simbol dan memilih jalur kekuasaan yang mengintimidasi.

Bagi banyak penggemarnya, simbol Jolly Roger dari serial anime One Piece merupakan lambang perlawanan terhadap tirani, korupsi, dan kesewenang-wenangan penguasa.

Namun, pesan ini agaknya disalahpahami oleh pemerintah dan dianggap sebagai ancaman nyata.

Maman Suherman, dalam diskusi tersebut, menggarisbawahi kegagalan pemerintah membedakan antara ancaman terhadap institusi negara dan ancaman terhadap posisi pemerintah itu sendiri.

"Ini lagi-lagi ya, pemerintah itu harus dibedakan dengan negara. Kalau pemerintahnya merasa terancam, jangan bawa-bawa negara. Kalau pemerintahnya merasa terancam ya sudah, pemerintahnya saja yang merasa terancam," ujar Maman Suherman dikutip dari Podcast Hendri Satrio Official pada Senin (11/8/2025).

Aparat gabungan TNI dan Polri mencopot bendera anime One Piece di rumah warga Pondok Labu, Jakarta Selatan, viral di media sosial. (tangkap layar/ist)
Aparat gabungan TNI dan Polri mencopot bendera anime One Piece di rumah warga Pondok Labu, Jakarta Selatan, viral di media sosial. (tangkap layar/ist)

Pernyataan ini menyoroti kecenderungan pemerintah yang menggunakan kekuasaannya untuk membungkam ekspresi dan imajinasi publik.

Baca Juga: Jolly Roger Serial One Piece Jadi Peringatan Kesekian untuk Pemerintah

Ketika sebuah fantasi, yang notabene menjadi ruang aman bagi banyak orang untuk melepaskan penat dari realitas, justru diintervensi dan dianggap sebagai ancaman, ini menjadi sinyal bahaya bagi kebebasan sipil.

Masyarakat dipaksa khawatir bahwa pikiran dan imajinasi mereka pun bisa dikontrol oleh negara.

Di sisi lain, Hendri Satrio lebih menyoroti dampak psikologis dan trauma yang lahir dari tindakan represif aparat. Ia membandingkan perlakuan terhadap bendera fiktif ini dengan bendera partai politik yang bebas berkibar.

Menurutnya, tindakan aparat yang sampai mendatangi rumah warga meninggalkan luka dan ketakutan.

"Masyarakat kita itu trauma oleh tindakan pemerintah. Orang pasang bendera partai, nggak diambil. Orang pasang bendera ini diambil. Sampai ada yang lapor, 'saya sampai didatangi ke rumah'. Itu kan satu hal yang, ya sudahlah, di sini kita enggak mau lah ada trauma-trauma seperti itu," kata Hendri Satrio.

Tindakan penertiban ini tidak hanya merampas hak warga untuk berekspresi, tetapi juga berpotensi meninggalkan trauma kolektif. Kekuasaan yang semestinya hadir untuk melindungi justru menjadi sumber kecemasan.

Ironisnya, di era demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, ruang publik seolah menyempit. Rakyat seakan tidak lagi leluasa menyuarakan pikiran, baik dalam bentuk kritik serius, karya seni, maupun sekadar fantasi populer.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI