Suara.com - Upaya elite politik untuk menandingi popularitas bendera One Piece dengan simbol lokal justru membuka kotak pandora tentang ambiguitas makna dan kegagalan membangun narasi.
Simbol "Kancil Persatuan Indonesia" yang ditawarkan justru dinilai bermasalah dan tak sekuat narasi perlawanan manga Jepang tersebut.
Wacana ini mengemuka setelah Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menginterpretasikan kancil sebagai simbol kecerdasan rakyat Indonesia dalam menghadapi tirani.
Sebuah upaya untuk menyediakan alternatif dari bendera tengkorak bertopi jerami yang viral.
Namun, dalam diskusi di podcast Hendri Satrio Official, penulis Maman Suherman membedah kelemahan fundamental dari simbol kancil.
Menurutnya, kancil dalam cerita rakyat nusantara memiliki reputasi ganda: cerdik, namun sekaligus licik dan penipu.
"Makanya kancil itu kan kalau dalam cerita lokal kita, ia bisa menipu buaya, bisa menipu macan. Itu karena kecerdikannya," jelas Maman Suherman, menyoroti sisi ambigu dari hewan tersebut yang bisa menjadi bumerang dikutip dari YouTube pada Senin (11/8/2025).
Ambiguitas inilah yang membuat simbol Kancil sulit untuk diadopsi secara massal sebagai lambang perlawanan yang murni, tidak seperti bendera kelompok Bajak Laut Topi Jerami dalam One Piece.
Maman menegaskan, kekuatan sebuah simbol terletak pada narasi besar yang menyertainya. One Piece, menurutnya, berhasil karena memiliki cerita yang kuat dan disebarkan secara masif melalui platform yang digandrungi anak muda.
Baca Juga: Ungkit Pin One Piece Gibran, Kang Mamang Sindir Pemerintah: Kalau Gak Merasa Lalim Ngapain Ribut?
“Gimana kita mau mempromosikan simbol lokal? Kita ini enggak punya kekuatan untuk itu. Sementara One Piece ini, Naruto ini punya kekuatan. Dia punya narasi, dia punya cerita yang kuat, yang disebarkan lewat platform-platform yang sekarang digandrungi anak muda,” ujar Maman.
Kekuatan narasi ini membuat bendera One Piece tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Ia harus dibaca secara intertekstual sebagai simbol perlawanan terhadap rezim yang korup dan sewenang-wenang.

“Kenapa kita tidak berintertekstualitas saja? Bahwa simbol ini muncul sebagai perlawanan, muncul sebagai sebuah perlawanan terhadap tirani, perlawanan terhadap ketidakadilan. Terhadap elit-elit korup. Kenapa itu tidak dibaca saja?” tantang Maman.
Sementara itu, pengamat politik Hendri Satrio menyoroti keengganan masyarakat untuk mengangkat simbol budaya sendiri. Ada kekhawatiran bahwa simbol lokal akan dipersepsikan secara sempit atau bahkan dipolitisasi.
“Kenapa ya kok kita ini nggak pakai simbol-simbol lokal? Saya khawatir kalau simbol-simbol lokal nanti dianggapnya, 'ini terlalu lokal', 'ini terlalu daerah',” kata Hendri.
Kegagalan simbol Kancil yang ditawarkan dari atas untuk menandingi simbol One Piece yang tumbuh organik dari bawah menunjukkan betapa elite politik seringkali gagal paham dalam membaca gelombang budaya pop.