Suara.com - Nama "Pati" belakangan ini menjadi sorotan nasional, bukan karena sejarahnya yang kaya, melainkan karena geger politik yang dipicu oleh kebijakan kontroversial Bupatinya, Sudewo.
Kebijakan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen memicu gelombang kritik keras dari masyarakat dan menjadi topik panas di berbagai platform.
Ironisnya, gejolak ini terjadi di sebuah wilayah yang namanya memiliki asal-usul penuh dengan cerita dan filosofi mendalam.
Polemik kebijakan pajak ini mencapai puncaknya saat masyarakat menyoraki Bupati Sudewo di tengah acara Kirab Budaya Pati pada Kamis, 7 Agustus 2025, bahkan menuntutnya turun dari jabatan.
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, turut menyoroti masalah ini dan mengingatkan Sudewo untuk mempertimbangkan kemampuan rakyat dalam membuat kebijakan.
Awalnya, Sudewo bersikukuh dengan dalih bahwa kenaikan pajak bertujuan untuk pembangunan infrastruktur, dengan mengatakan, "Jadi saya bijaksana kepada warga. Saya ndak ada niat membuat rakyat menderita. Buktinya, jalan saya bangun di mana-mana".
Namun, tekanan publik yang masif membuat pemerintah daerah akhirnya mengambil langkah mundur. Pada Jumat, 8 Agustus 2025, Bupati Sudewo secara resmi mengumumkan pembatalan kenaikan PBB tersebut.
"Saya ingin menyampaikan bahwa mencermati perkembangan situasi dan kondisi, juga mengakomodir aspirasi yang berkembang. Saya memutuskan kebijakan kenaikan PBB P2, saya batalkan," kata Sudewo.
Ia juga menjanjikan bahwa skema pembayaran akan kembali seperti semula dan uang warga yang sudah terlanjur membayar akan dikembalikan.
Baca Juga: Akhirnya, Prabowo Tegur Bupati Pati Soal Pajak 250 Persen: Cari Sumber Lain!
Di balik riuhnya kontroversi modern ini, nama "Pati" sendiri menyimpan beberapa versi asal-usul yang jauh dari hiruk pikuk politik.
Salah satu versi paling populer yang tertuang dalam Babad Pati mengisahkan tentang Kadipaten Paranggaruda dan Carangsoka.
Cerita berpusat pada perjodohan paksa antara Dewi Ruyung Wulan yang cantik dengan Raden Jaseri yang berfisik cacat, yang kemudian memicu pelarian sang putri bersama seorang dalang bernama Ki Soponyono.
Versi lain menyebutkan bahwa nama Pati terinspirasi dari kesegaran minuman dawet. Menurut Babad Pati yang ditulis Sosrosumanto dan Dibyosudiro, tokoh Raden Kembangjoyo disebut sebagai sosok sentral yang berhasil menyatukan tiga kadipaten: Paranggaruda, Carangsoko, dan Majasemi, yang kini menjadi wilayah Pati.
Selain itu, ada juga teori yang lebih sederhana yang mengaitkan nama "Pati" dengan "tepung pati" atau tepung sari pati (kanji), yang menunjukkan potensi hasil bumi di wilayah tersebut pada masa lampau.