Suara.com - Panggung politik dan korporasi nasional dihebohkan dengan langkah dramatis Direktur Utama BUMN Agrinas Pangan Nusantara, Joao Angelo De Sousa Mota.
Pada Senin (11/8/2025), Joao secara terbuka mengumumkan pengunduran dirinya dari Danantara sambil menunduk meminta maaf kepada Presiden RI, Prabowo Subianto, sebuah gestur yang sarat akan makna politik.
Langkah pengunduran diri ini, menurut Joao, dipicu oleh minimnya dukungan untuk mewujudkan visi kedaulatan pangan yang digagas Presiden Prabowo.
Ia merasa upaya seriusnya tidak mendapat sokongan penuh dari para pemangku kepentingan yang seharusnya berada di garda terdepan.
"Keseriusan Presiden dalam mendukung dan menggerakkan upaya untuk kedaulatan pangan ini tidak didukung sepenuhnya oleh stakeholder dan para pembantu-pembantunya," ungkap Direktur Utama Agrinas Pangan Nusantara, Joao Angelo dikutip dari @kitabuku.id, Selasa (12/8/2025).
Secara spesifik, ia menyoroti kendala konkret yang melumpuhkan gerak korporasinya dalam menjalankan mandat strategis tersebut.
"Sehingga kami tidak mendapatkan dukungan maksimal untuk langkah-langkah nyata, termasuk dukungan anggaran," lanjutnya.
Pernyataan ini secara gamblang menunjuk adanya hambatan finansial yang krusial.
Joao Angelo juga menyebut surat pengunduran diri resminya sudah disampaikan kepada Danantara.
Baca Juga: Prabowo Mendadak Panggil Kepala BPPIK Usai Dirut Agrinas Mundur, Ada Apa?
Namun, pernyataan Joao yang menyoroti "dukungan anggaran" memicu spekulasi yang lebih dalam.
Apakah ini murni persoalan finansial, atau sebuah puncak dari pertarungan idealisme dan hati nurani yang tak sejalan dengan realitas birokrasi di bawah Danantara?
Bagi seorang profesional yang ditugaskan memimpin program strategis, ketiadaan anggaran bukan sekadar angka di atas kertas.
Hal ini bisa diartikan sebagai sinyal ketidakseriusan dari level atas, atau bahkan sebuah upaya sistematis untuk menggagalkan program dari dalam.
Menjalankan sebuah amanat besar tanpa "amunisi" yang memadai bisa menjadi beban moral dan profesional yang berat, sebuah pertarungan yang menguji hati nurani seorang pemimpin.
Langkah Joao menjadi sorotan tajam karena posisinya di bawah naungan Danantara, sebuah entitas yang sejak awal pembentukannya dalam pemerintahan Prabowo telah menuai beragam sentimen publik.
Digadang-gadang sebagai super-holding atau badan pengelola dana strategis untuk proyek-proyek prioritas nasional, termasuk pangan, Danantara kerap menjadi subjek perdebatan.
Sebagian kalangan mengkhawatirkan potensi sentralisasi kekuasaan dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana jumbo yang berada di bawah kendalinya.
Pengunduran diri figur penting seperti Joao dengan alasan kekurangan dana justru menjadi ironi yang memperkuat sentimen negatif tersebut.
Pengunduran diri Joao Angelo, dengan narasi permintaan maaf langsung kepada Presiden, bisa dibaca sebagai sebuah manuver politik cerdas sekaligus pesan keras.
Ia seolah ingin menegaskan bahwa masalahnya bukan pada visi Presiden Prabowo, melainkan pada barisan "pembantu-pembantu" di sekelilingnya yang gagal menerjemahkan visi tersebut menjadi aksi nyata.
Permintaan maaf yang ditujukan kepada Prabowo, alih-alih kepada dewan komisaris atau menteri terkait, menempatkan isu ini langsung di meja Presiden dan memaksanya untuk meninjau kembali efektivitas aparaturnya.
Pada akhirnya, mundurnya Joao Angelo De Sousa Mota lebih dari sekadar berita korporasi.
Ini adalah cermin retaknya komunikasi dan komitmen dalam implementasi salah satu program andalan pemerintah.
Apakah ini pertanda hati nurani yang tak bisa kompromi dengan sistem yang lumpuh oleh birokrasi, atau sekadar puncak kekecewaan atas janji anggaran yang tak kunjung cair, menjadi pertanyaan besar yang kini menggantung di atas program kedaulatan pangan era Prabowo.