Suara.com - Kisah Bripka Fardiansyah, polisi di Bangka Belitung yang bekerja sebagai badut usai jam dinas, viral dan menuai decak kagum.
Publik memujinya sebagai simbol kejujuran, kerja keras, dan dedikasi pada keluarga.
Namun, di balik gelombang apresiasi yang mengharukan, tersimpan sebuah pertanyaan fundamental yang lebih dalam dan sering kali canggung untuk dibicarakan.
Mengapa seorang polisi yang telah mengabdi selama 17 tahun masih harus mencari pekerjaan sampingan yang menuntut fisik dan mental?
Kisah inspiratif Bripka Fardiansyah, jika dilihat dari kacamata ekonomi dan kebijakan publik, bukanlah sekadar cerita tentang seorang pahlawan.
Ini adalah sebuah studi kasus yang mencerminkan realita kesejahteraan para abdi negara di Indonesia.
Untuk memahami konteksnya, mari kita bedah struktur pendapatan seorang polisi dengan pangkat Brigadir Polisi Kepala (Bripka).
Gaji mereka tidak hanya terdiri dari gaji pokok, tetapi juga berbagai tunjangan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Gaji Anggota Polri, seorang Bripka (Golongan II) dengan masa kerja 17 tahun memiliki gaji pokok pada kisaran tertentu.
Baca Juga: Viral Aksi Emak-emak Pati Buatkan Bekal untuk Massa Demo Tuntut Pemakzulan Bupati Pati
Tukin Ini adalah komponen terbesar dari take-home pay seorang polisi, yang besarannya ditentukan oleh kelas jabatan.
Termasuk tunjangan keluarga (istri/anak), tunjangan pangan (beras), dan tunjangan lainnya.
Jika ditotal, pendapatan bulanan seorang Bripka kemungkinan besar berada di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) Bangka Belitung (sekitar Rp3,6 jutaan pada tahun 2024).
Namun, di sinilah letak perdebatannya: apakah upah minimum sama dengan upah layak?
Upah Minimum hanya dirancang untuk memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) seorang pekerja lajang.
Sementara Bripka Fardiansyah adalah kepala keluarga yang harus menanggung biaya hidup istri dan anak-anak, yang meliputi:
- Biaya pendidikan anak yang terus meningkat.
- Biaya sewa atau cicilan rumah.
- Biaya kesehatan tak terduga di luar yang ditanggung BPJS.
- Kebutuhan sandang, pangan, dan transportasi sehari-hari.
- Kebutuhan untuk menabung dan dana darurat.
Ketika pendapatan utama hanya cukup untuk bertahan hidup dari bulan ke bulan, maka mencari penghasilan tambahan bukanlah pilihan, melainkan keharusan.
Kisah Bripka Fardiansyah menjadi sangat kuat karena ia memilih jalan yang terhormat serta viral di media sosial.
Netizen ramai memujinya sebagai "polisi jujur", sebuah label yang secara tidak langsung menyiratkan adanya alternatif jalan lain yang tidak jujur.
"Insyaallah polisi jujur(emoji tepuk tangan)," ungkap akun @lu***to.
"Ini contoh polisi jujur yg mencari nafkah halal utk kluarga tercinta," imbuh @si***93.
Komentar-komentar ini adalah cerminan dari kesadaran publik bahwa tekanan ekonomi pada aparat penegak hukum dapat menjadi celah bagi praktik korupsi dan pungutan liar.
Keputusan Bripka Fardiansyah untuk menjadi badut ketimbang memanfaatkan jabatannya adalah sebuah tamparan keras sekaligus oase yang menyejukkan.
![Cerita tentang Bripka Fardiansyah Saat Menjadi Badut [Instagram]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/13/25345-bripka-fardiansyah.jpg)
Ia membuktikan bahwa integritas bisa dijaga, meski membutuhkan pengorbanan ekstra.
Kebijakan Kesejahteraan: Investasi untuk Pelayanan Publik yang Lebih Baik
Kasus Bripka Fardiansyah seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah. Meningkatkan kesejahteraan abdi negara, termasuk TNI/Polri dan ASN, bukanlah sekadar menaikkan gaji.
Ini adalah investasi jangka panjang untuk:
- Meningkatkan Kualitas Pelayanan: Aparat yang sejahtera secara finansial dapat lebih fokus dalam menjalankan tugasnya melayani masyarakat.
- Menekan Potensi Korupsi: Dengan terpenuhinya kebutuhan hidup yang layak, godaan untuk melakukan praktik koruptif dapat diminimalkan.
- Menjaga Wibawa Institusi: Negara yang menghargai para abdi negaranya akan mendapatkan penghormatan dan kepercayaan yang lebih besar dari publik.
Kisah Bripka Fardiansyah memang menghangatkan hati, tetapi juga meninggalkan pekerjaan rumah yang serius bagi para pemangku kebijakan.