Suara.com - Suasana di Polda Metro Jaya memanas dengan kehadiran pengacara senior, Todung Mulya Lubis, yang datang khusus untuk "pasang badan" membela mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad. Samad dipanggil penyidik terkait pernyataannya dalam sebuah podcast yang menyinggung isu ijazah palsu Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Todung menegaskan kedatangannya bukan dalam kapasitas sebagai kuasa hukum, melainkan sebagai bentuk dukungan pribadi setelah ditelepon langsung oleh Abraham Samad pada Selasa (12/8/2025) malam. Ia langsung menyuarakan perlawanan terhadap apa yang disebutnya sebagai upaya kriminalisasi.
"Kenapa saya ditelepon? Karena dia mendapatkan panggilan dari Polda Metro Jaya, karena dipersangkakan melanggar Pasal 310, 311 KUHAP pidana, dan juga pasal 27A, 28 Undang-Undang ITE," ujar Todung kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (13/8/2025).
Dengan tegas, Todung menyoroti rekam jejak Abraham Samad yang ia kenal sebagai sosok pejuang antikorupsi dengan integritas tinggi, jauh sebelum menjabat sebagai pimpinan lembaga rasuah.
"Saya kenal Bung Abraham Samad ini dulu sebagai aktivis, advokat, dan sekarang banyak melakukan podcast. Nah, saya tahu Abraham Samad yang pernah jadi Ketua KPK adalah orang yang punya integritas," ucapnya.
Menurut Todung, pemanggilan terhadap Samad akibat sebuah pernyataan dalam forum diskusi podcast adalah preseden buruk dan bentuk nyata pembungkaman kebebasan berpendapat yang seharusnya dijamin oleh konstitusi. Ia tak menyangka kritik bisa berujung pada ancaman pidana.
"Dan ini saudara-saudara dilindungi oleh Undang-Undang Nasional 45, dilindungi oleh Pasal 28 Undang-Undang Nasional 45, Undang-Undang Pokok Pres juga melindungi itu," kata dia dengan nada tinggi.
"Jadi tidak ada alasan sama sekali untuk memanggil, memperiksa, dan mengkriminalisasi Saudara Abraham Samad," lanjutnya.
Lebih jauh, Todung melontarkan kritik keras terhadap penggunaan pasal-pasal pencemaran nama baik untuk menjerat pengkritik. Menurutnya, praktik semacam ini adalah ciri khas negara yang bergerak menuju otoritarianisme.
Baca Juga: 10 Jam Diperiksa soal Kasus Ijazah Palsu Jokowi, Abraham Samad: Banyak Pertanyaan di Luar Substansi
“Hanya di negara yang otoriter atau punya tendensi untuk menjadi negara otoriter, pencemaran nama baik, penghinaan itu dikriminalisasi," tuturnya.
Ia berpendapat, jika memang ada pihak yang merasa dirugikan, seharusnya langkah yang ditempuh adalah gugatan perdata, bukan laporan pidana yang mengancam kebebasan seseorang.
"Saya tidak mengatakan tidak mungkin ada pencemaran atau penghinaan. Mungkin saja, tapi bukan dikriminalisasi, gugat saja secara perdata. Di negara lain, gugatan perdata itu dimungkinkan untuk pencemaran nama baik atau penghinaan," sambungnya.