PK Tak Hentikan Eksekusi: Kenapa Komisaris BUMN Terpidana Silfester Matutina masih Melenggang Bebas?

Kamis, 14 Agustus 2025 | 13:21 WIB
PK Tak Hentikan Eksekusi: Kenapa Komisaris BUMN Terpidana Silfester Matutina masih Melenggang Bebas?
Ketua Relawan Solmet, Silfester Matutina menyebut kasus Ijazah palsu Jokowi gagal total dan justru menjerat Roy Suryo Cs ke ranah Pidana. [Suara.com]

Suara.com - Di panggung politik Indonesia yang penuh drama, sebuah cerita ironi kembali tersaji di depan mata publik.

Nama Silfester Matutina, seorang loyalis politik yang kini duduk nyaman di kursi Komisaris BUMN PT Rajawali Nusantara Indonesia (ID Food), menjadi episentrum perdebatan sengit.

Di satu sisi, ia adalah pejabat negara. Di sisi lain, ia adalah seorang terpidana dengan vonis 1,5 tahun penjara yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) atas kasus pencemaran nama baik terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Pertanyaannya sederhana namun menusuk: Mengapa vonis yang sudah final dari Kejagung belum juga dieksekusi?

Kasus ini bukan lagi sekadar persoalan hukum individu, melainkan telah menjadi barometer untuk mengukur ketajaman taji hukum di hadapan kekuasaan dan koneksi politik.

Dari Relawan Politik ke Kursi Panas BUMN

Untuk memahami konteksnya, kita perlu menengok ke belakang.

Silfester Matutina adalah Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), salah satu organ relawan yang gigih mendukung Joko Widodo dalam kontestasi pemilu.

Bukan rahasia lagi jika posisi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kerap dianggap sebagai "hadiah" bagi para pendukung yang berjasa.

Baca Juga: Iwan Kurniawan Lukminto Bos Sritex yang Duduk Bareng Buruhnya Dianggap Rugikan Negara Rp 1,08 T

Pengangkatan Silfester sebagai komisaris, di saat status hukumnya masih menyisakan tunggakan eksekusi, memicu persepsi liar di masyarakat.

Ini seolah menjadi afirmasi dari adagium sinis yang begitu populer di kalangan anak muda: hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Ketika rakyat kecil tersandung masalah hukum ringan bisa segera dijebloskan ke penjara, seorang terpidana kasus fitnah terhadap tokoh bangsa justru mendapat jabatan strategis.

Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, bahkan sampai melontarkan dua pertanyaan kritis kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) mengenai mandeknya eksekusi ini, yang menunjukkan bahwa ada sesuatu yang ganjil dalam penanganannya.

PK Bukan Tameng untuk Menunda Eksekusi

Ketua Solidaritas Merah Putih Silfester Matutina (batik ungu) saat ditemui sebelum memenuhi panggilan Polda Metro Jaya, Kamis (24/7/2025). ANTARA/Ilham Kausar
Ketua Solidaritas Merah Putih Silfester Matutina (batik ungu) saat ditemui sebelum memenuhi panggilan Polda Metro Jaya, Kamis (24/7/2025). ANTARA/Ilham Kausar

Pihak Silfester Matutina kini tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Kejagung.

Dalam pernyataannya, ia mengaku siap jika dipanggil Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan untuk eksekusi.

Namun, yang perlu digarisbawahi dan dipahami oleh publik, terutama generasi milenial yang kritis, adalah prinsip hukum acara pidana.

Berdasarkan Pasal 268 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pengajuan PK tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan yang sudah inkrah.

Artinya, dalih sedang mengajukan PK seharusnya tidak bisa menjadi alasan bagi Kejari untuk menunda-nunda eksekusi pidana penjara.

Kejagung sendiri telah menegaskan bahwa putusan kasasi Silfester sudah final dan eksekutorial.

Bola panas kini sepenuhnya berada di tangan Kejari Jakarta Selatan sebagai eksekutor.

Kelambanan yang terjadi hanya akan semakin menggerus kepercayaan publik dan memperkuat tudingan adanya intervensi atau setidaknya, perlakuan istimewa.

Ujian bagi Wajah Keadilan Indonesia

Kasus Silfester Matutina adalah sebuah test case yang krusial.

Ini adalah pertaruhan besar bagi wajah penegakan hukum di Indonesia.

Apakah negara, melalui aparaturnya, akan menunjukkan ketegasan tanpa pandang bulu? Ataukah kita akan sekali lagi disuguhi tontonan di mana status dan kedekatan dengan lingkaran kekuasaan bisa menjadi tameng kebal hukum?

Publik, khususnya anak muda yang semakin melek politik dan hukum, mengawasi dengan saksama.

Setiap langkah yang diambil oleh Kejari Jakarta Selatan akan menjadi jawaban atas integritas mereka.

Jika eksekusi terus ditunda dengan alasan yang tidak berdasar secara hukum, jangan salahkan publik jika mereka semakin apatis dan sinis terhadap jargon "persamaan di hadapan hukum".

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI