Suara.com - Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara ugal-ugalan di sejumlah daerah telah menyulut api kemarahan publik.
Puncaknya adalah gelombang protes masif di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang tidak hanya menuntut pembatalan kebijakan, tetapi juga pelengseran Bupati Sudewo dari jabatannya.
Fenomena ini ternyata bukan hanya terjadi di Pati. Beberapa pemerintah daerah (pemda) lain di Indonesia juga menerapkan kebijakan serupa dengan kenaikan yang tak kalah fantastis, memicu reaksi keras dari warganya.
Lonjakan PBB ini menjadi isu nasional yang kompleks, melibatkan otonomi daerah, kebutuhan fiskal, dan daya beli masyarakat yang kian tertekan.
![Cara bayar PBB Pakai DANA. [bkpsdm.palangkaraya.go.id]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/03/18/79263-ilustrasi-pbb-pajak-bumi-dan-bangunan.jpg)
Berikut adalah daftar daerah yang menaikkan PBB secara signifikan dan memicu gejolak di tengah masyarakat.
1. Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Kenaikan hingga 250%)
Kabupaten Pati menjadi episentrum protes kenaikan PBB. Pemerintah daerah setempat berencana menaikkan PBB hingga 250% melalui Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 17 Tahun 2025.
Alasan yang dikemukakan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di Pati tidak pernah naik selama 14 tahun terakhir.
Bupati Pati, Sudewo, berdalih kenaikan ini diperlukan untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna membiayai pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, dan membayar gaji PPPK.
Baca Juga: Gas Air Mata Kedaluwarsa di Demo Pati? Polisi Dituding Sengaja Pakai Stok Lama
"Berusaha maksimal rumah sakit ini menjadi baik sebaiknya untuk rakyat Kabupaten Pati. Saya berusaha maksimal infrastruktur jalan yang sebelumnya kondisinya rusak berat saya perbaiki bagus," kata Sudewo.
Namun, kebijakan ini memicu unjuk rasa besar-besaran dari Aliansi Masyarakat Pati Bersatu.
Puluhan ribu warga turun ke jalan, bahkan aksi sempat diwarnai kericuhan. Meski kebijakan tersebut akhirnya dibatalkan dan Bupati telah meminta maaf, gelombang protes menuntut Sudewo mundur terus berlanjut hingga DPRD Pati sepakat menggunakan hak angket.
2. Kota Cirebon, Jawa Barat (Kenaikan hingga 1.000%)
Tak kalah mengejutkan, warga Kota Cirebon dihadapkan pada lonjakan PBB yang disebut mencapai 1.000% atau 10 kali lipat.
Kenaikan ini tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024.
Terinspirasi dari perlawanan di Pati, puluhan warga yang tergabung dalam Paguyuban Pelangi Cirebon menggelar aksi protes menuntut pembatalan kebijakan yang dinilai sangat memberatkan.
3. Kabupaten Jombang, Jawa Timur (Kenaikan hingga 1.202%)
Di Jombang, seorang warga mengaku PBB tanah miliknya pada 2024 tiba-tiba naik 1.202 persen atau 12 kali lipat dibandingkan tahun 2023.
Protes warga pun muncul dalam bentuk unik, seperti membayar pajak menggunakan ratusan koin. Menanggapi keluhan ini, Pemkab Jombang menyebut kenaikan terjadi akibat penyesuaian NJOP yang lama tidak diperbarui, sesuai rekomendasi pemerintah pusat.
Bupati Jombang, Warsubi, berjanji tidak akan menaikkan PBB hingga 2027 dan membuka ruang bagi warga untuk mengajukan keringanan.
4. Kabupaten Semarang, Jawa Tengah (Kenaikan hingga 400%)
Sejumlah warga di Kabupaten Semarang juga mengeluhkan kenaikan PBB yang mencapai lebih dari 400%.
Salah satu kasus yang mencuat adalah seorang warga yang tagihan PBB rumahnya melonjak dari Rp 161.000 menjadi Rp 872.000.
Bupati Semarang, Ngesti Nugraha, menjelaskan bahwa kenaikan tidak berlaku bagi semua wajib pajak.
Menurutnya, lonjakan terjadi akibat penyesuaian NJOP di wilayah yang berkembang pesat dan bernilai strategis, berdasarkan penetapan bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN).
5. Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Kenaikan hingga 300%)
Gelombang protes juga sampai ke Sulawesi Selatan. Di Kabupaten Bone, mahasiswa menggelar unjuk rasa menolak kenaikan PBB-P2 hingga 300%.
Aksi ini sempat diwarnai kericuhan saat massa mencoba masuk ke gedung DPRD Bone.[5] Pemerintah daerah berdalih penyesuaian NJOP harus dilakukan karena Zona Nilai Tanah (ZNT) tidak pernah diperbarui selama 14 tahun, meskipun mengakui sosialisasi kebijakan ini belum maksimal.
Dasar Hukum dan Tanggapan Pemerintah Pusat
Kewenangan pemda untuk menaikkan PBB ini didasari oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).
UU ini memberikan ruang bagi pemda untuk menetapkan tarif PBB-P2 paling tinggi sebesar 0,5%, naik dari aturan sebelumnya yang maksimal 0,3%.
Selain itu, UU HKPD juga mengamanatkan penyesuaian NJOP secara berkala setiap tiga tahun.
Menanggapi gejolak di berbagai daerah, pemerintah pusat melalui Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) menegaskan bahwa kenaikan PBB adalah murni kebijakan dan dinamika di tingkat lokal.
Pihak Istana menepis tudingan bahwa hal ini merupakan dampak dari kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat. "Kalau ada kejadian spesifik, seperti di Kabupaten Pati, ini adalah murni dinamika lokal," ujar Kepala PCO Hasan Nasbi kepada Media.