Suara.com - Gelombang protes yang tak kunjung surut di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, akhirnya memancing reaksi keras dari pimpinan pusat Partai Gerindra.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra, Sugiono, secara tegas memerintahkan kadernya, Bupati Pati Sudewo, untuk segera mendengar dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat yang resah akibat kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang melambung hingga 250 persen.
Perintah ini menjadi sinyal bahwa gejolak di tingkat lokal telah menjadi sorotan serius di panggung politik nasional.
Sugiono mengingatkan Sudewo akan arahan fundamental dari Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus Presiden, Prabowo Subianto, yang selalu menekankan pentingnya keberpihakan pada rakyat kecil dalam setiap pengambilan kebijakan.
"Selaku Sekjen DPP Partai Gerindra, saya juga sudah menyampaikan kepada Bupati Sudewo agar memperhatikan aspirasi dari masyarakat sehingga kebijakan yang diambil tidak menambah beban kepada masyarakat," ujar Sugiono dikutip Kamis (14/8/2025).
Ia menambahkan pesan khusus yang berlaku bagi semua kader partai yang menjabat sebagai kepala daerah.
"Kepada semua kepala daerah kader Gerindra, saya mengingatkan kembali pesan Ketua Dewan Pembina/Ketua Umum kita yaitu Bapak Prabowo Subianto, bahwa setiap kebijakan yang diambil harus selalu memperhitungkan dampak yang akan dirasakan oleh rakyat terkecil di daerah masing-masing. Partai kita adalah partai yang lahir dan besar karena perjuangan tersebut," ujar dia.
Kritik Pedas Terhadap Kebijakan yang Tuna Empati
Kebijakan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang menjadi dasar kenaikan PBB-P2 hingga 250 persen menjadi puncak dari serangkaian kontroversi Bupati Sudewo.
Baca Juga: Mobil Polisi Dibakar saat Demo Pati, Kapolri Perintahkan Anak Buah Usut Pelakunya!
Kebijakan ini dinilai tidak hanya memberatkan secara ekonomi, tetapi juga memperlihatkan cacat dalam proses pengambilan keputusan.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman, menilai tuntutan mundur dari masyarakat sebagai hal yang masuk akal.
Menurutnya, Sudewo telah mengabaikan prinsip paling dasar dalam pemerintahan, yaitu partisipasi publik.
Kenaikan drastis tanpa sosialisasi dan dialog yang memadai memicu resistensi massal.
Lebih jauh, sikap Sudewo dalam menanggapi protes warga justru memperkeruh suasana.
Respons dari Bupati Sudewo dari catatan kami tidak peka pada konteks masyarakat di sana.
"Bahkan ada sikap arogan yang memancing kemarahan, memancing kekecewaan publik di Pati," ungkap Herman.
Sikap inilah yang mengubah persoalan kebijakan menjadi krisis kepercayaan terhadap pemimpin.
Power dan Arogansi Pejabat Publik
Kasus Pati adalah studi kasus nyata tentang bagaimana kekuasaan (power) yang dimiliki seorang pejabat dapat disalahgunakan ketika tidak diimbangi dengan empati dan kebijaksanaan.
Kewenangan untuk membuat regulasi dan kebijakan adalah alat untuk menyejahterakan masyarakat, bukan untuk membebani mereka.
Ketika seorang kepala daerah merumuskan kebijakan yang vital seperti pajak tanpa 'melihat' kondisi riil warganya, ia tidak lagi berfungsi sebagai pelayan publik, melainkan penguasa yang terasing dari realitas.
Arogansi untuk merasa paling tahu dan mengabaikan suara-suara penolakan adalah jalan pintas menuju delegitimasi kepemimpinan.
Pelajaran Genting bagi Kepala Daerah Lain
Insiden di Pati harus menjadi alarm keras bagi seluruh kepala daerah di Indonesia.
Pelajaran utamanya adalah: jangan pernah menantang rakyat.
Transparansi, komunikasi, dan pelibatan publik bukanlah jargon politik, melainkan syarat mutlak untuk menjaga stabilitas dan keberlangsungan pembangunan di daerah.
Sebelum palu kebijakan diketuk, simulasi dampak sosial-ekonomi dan dialog yang tulus dengan kelompok masyarakat terdampak wajib dilakukan.
Persoalan di Pati menjadi sangat genting bukan hanya karena nominal pajak yang mencekik.
Jika Sudewo tetap bertahan di posisinya tanpa perubahan fundamental dalam gaya kepemimpinannya, krisis kepercayaan ini akan menjadi bom waktu.
Masyarakat akan terus hidup dalam bayang-bayang kekhawatiran bahwa kebijakan lain yang menyulitkan bisa saja terbit sewaktu-waktu.
Rusaknya hubungan antara pemimpin dan rakyat adalah fondasi yang rapuh bagi masa depan daerah, membuka potensi instabilitas yang lebih besar di kemudian hari.