Tanpa Ampun! Mengupas Logika Hukum di Balik Vonis Mati Pembunuh Mutilasi Serang

Andi Ahmad S Suara.Com
Kamis, 14 Agustus 2025 | 15:43 WIB
Tanpa Ampun! Mengupas Logika Hukum di Balik Vonis Mati Pembunuh Mutilasi Serang
Ilustrasi Mengupas Logika Hukum di Balik Vonis Mati Pembunuh Mutilasi Serang [Ist]

Suara.com - Di tengah riuh dan amuk keluarga korban, palu Ketua Majelis Hakim PN Serang, David Panggabean, telah diketuk. Vonis pidana mati untuk Mulyana (22) bukan sekadar jawaban atas tuntutan emosional publik, melainkan sebuah putusan yang didasarkan pada konstruksi dan logika hukum yang kokoh, dingin, dan tanpa kompromi.

Keputusan ini menjadi menarik bukan hanya karena hukuman maksimalnya, tetapi karena pertimbangan hakim yang secara eksplisit menyatakan "Hal meringankan tidak ada."

Sebuah frasa langka yang mengunci nasib terdakwa dan mengirimkan pesan kuat tentang bagaimana negara memandang kejahatan luar biasa.

Membedah Pasal 340 KUHP. Mengapa Ini Disebut Pembunuhan 'Berencana'?

Vonis Mulyana berlandaskan Pasal 340 KUHPidana tentang pembunuhan berencana. Dalam kacamata hukum, "berencana" memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar niat. Ia mensyaratkan adanya waktu dan ketenangan bagi pelaku untuk berpikir, menimbang, dan memutuskan tindakannya.

Adanya Momen untuk Berpikir Pembunuhan yang dilakukan Mulyana bukanlah tindakan tunggal yang terjadi dalam satu ledakan emosi. Ada jeda waktu antara niat untuk membunuh dengan eksekusinya.

Tindakan Berkelanjutan. Proses mutilasi dan upaya membakar jasad korban menunjukkan serangkaian tindakan yang terstruktur dan membutuhkan waktu. Ini secara telak membantah kemungkinan bahwa ini adalah pembunuhan spontan.

Majelis hakim melihat rangkaian perbuatan Mulyana—dari membunuh, memutilasi, hingga mencoba menghilangkan jejak—sebagai bukti kuat adanya perencanaan yang matang, bukan sekadar reaksi sesaat atas desakan menikah dari korban.

Inilah inti dari putusan hakim yang paling fundamental. Dalam setiap kasus pidana, hakim wajib menimbang dua sisi: hal yang memberatkan dan meringankan.

Baca Juga: Vonis Mati untuk Pembunuh Mutilasi Pacar, Sidang Ricuh Saat Keluarga Korban Mengamuk di PN Serang

Majelis Hakim dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Serang pada Kamis, 14 Agustus 2025, yang diwarnai suasana tegang dan amuk dari keluarga korban.[Yandi Sopyan/Suarabanten]
Majelis Hakim dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Serang pada Kamis, 14 Agustus 2025, yang diwarnai suasana tegang dan amuk dari keluarga korban.[Yandi Sopyan/Suarabanten]

Hal-hal yang Memberatkan menurut Hakim:

  • Perbuatan Sangat Sadis, Cara menghilangkan nyawa dengan mutilasi dinilai melampaui batas kemanusiaan.
  • Luka Mendalam bagi Keluarga, Dampak psikologis dan penderitaan yang ditimbulkan pada keluarga korban menjadi pertimbangan utama.
  • Meresahkan Masyarakat, Kebrutalan kasus ini telah menciptakan ketakutan dan keresahan sosial yang luas.

Namun, yang paling menentukan adalah ketiadaan hal-hal yang meringankan. Biasanya, hal meringankan bisa berupa:

  • Terdakwa mengakui perbuatannya dan menunjukkan penyesalan.
  • Terdakwa belum pernah dihukum.
  • Terdakwa bersikap sopan selama persidangan.
  • Adanya provokasi berat dari korban (meski ini sangat jarang diterima dalam kasus pembunuhan).

Dalam kasus Mulyana, Majelis Hakim tidak menemukan satu pun dari elemen-elemen tersebut yang cukup signifikan untuk bisa mengurangi hukumannya.

Frasa "Hal meringankan tidak ada" adalah justifikasi hukum terkuat untuk menerapkan pidana maksimal.

Keselarasan Tuntutan dan Vonis, Sinyal Keras dari Sistem Peradilan

Vonis hakim yang sama persis dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) bukanlah sebuah kebetulan. Ini menunjukkan adanya kesamaan pandangan di antara aparat penegak hukum—dari jaksa hingga hakim—bahwa kejahatan yang dilakukan Mulyana tergolong extraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang harus dihadapi dengan sanksi paling tegas yang diizinkan oleh undang-undang.

Ini mengirimkan sinyal bahwa sistem peradilan tidak akan memberikan toleransi bagi kejahatan yang tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga merendahkan martabat kemanusiaan korban melalui tindakan mutilasi.

Meskipun Mulyana masih memiliki hak untuk mengajukan banding dalam 7 hari ke depan, putusan di tingkat pertama ini telah menetapkan standar hukum yang sangat tinggi dan berat bagi kasus-kasus serupa di masa depan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI