Perasaan ditinggalkan oleh negara menjadi sebuah sentimen yang nyata.
“Yang saya rasain, ya kita tetap susah. Pemerintah kayak nggak lihat orang-orang kayak kami,” kata Arif.
Selain di 'tol trotoar' dekat Gedung DPR RI, keduanya juga kerap beroperasi di dekat Flyover Slipi.
Lokasi-lokasi strategis ini menjadi arena pertaruhan mereka, tempat di mana arus kendaraan padat berarti ada peluang lebih besar untuk mendapatkan uang kecil dari mereka yang ingin perjalanannya lebih lancar.
Meski sepenuhnya sadar bahwa pekerjaan mereka ilegal dan berisiko, Iwan dan Arif mengaku terjepit oleh keadaan.
![Pak Ogah dekat gedung DPR RI, Iwan. Ia merupakan salah satu korban PHK saat Pandemi Covid-19. Untuk menyambung hidup, ia memutuskan untuk bekerja menjadi pak ogah. [Suara,com/Fakhri]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/17/33776-pak-ogah-dekat-gedung-dpr-ri-iwan.jpg)
Pilihan menjadi 'Pak Ogah' bukanlah sebuah keinginan, melainkan sebuah keterpaksaan.
"Kalau nggak begini, mau makan apa? Saya juga maunya kerja bener, tapi nggak ada yang nerima,” ujar Iwan.
Sore itu, di bawah bayang-bayang bendera kecil yang berkibar di ujung trotoar, mereka kembali sibuk memberi aba-aba.
Bagi Iwan dan Arif, kemerdekaan masih terasa jauh, bahkan ketika seluruh negeri merayakannya dengan gegap gempita.
Baca Juga: 80 Tahun Merdeka, Suara Wajib Pajak Menggema: Pajak Sudah Dibayar, Keadilan Sosial Mana?
Artikel ini khusus dibuat Redaksi Suara.com dalam rangka perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia.