Suara.com - Babak baru dalam perjalanan kasus Setya Novanto dimulai. Mantan Ketua DPR RI yang terkenal dengan drama kasus korupsi e-KTP ini resmi menghirup udara bebas setelah mendapatkan program pembebasan bersyarat (PB) dari Lapas Sukamiskin, Bandung.
Kabar kebebasan pria yang akrab disapa Setnov ini dikonfirmasi langsung oleh pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.
“Iya betul, sejak 16 Agustus,” kata Kabag Humas dan Protokol Ditjenpas, Rika Aprianti, dikutip, Minggu (17/8/2025).
Menurut Rika, keputusan ini diambil setelah pengusulan pembebasan bersyarat Setnov disetujui dalam Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) pada 10 Agustus 2025. Persetujuan ini diberikan bersamaan dengan ribuan usulan lainnya dari seluruh Indonesia.
“Dengan pertimbangan telah memenuhi persyaratan administratif dan substantif, berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 2022, telah berkelakuan baik, aktif mengikuti pembinaan, dan menunjukkan penurunan risiko,” ujar Rika.
Dengan status barunya, Setya Novanto kini menjadi klien Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung dan wajib mengikuti bimbingan hingga masa percobaannya berakhir.
“Sejak tanggal 16 Agustus 2025, maka status Setya Novanto berubah dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung, mendapatkan bimbingan dari Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Bandung sampai tanggal 1 April 2029,” ucapnya.
Perjalanan Vonis: Dari 15 Tahun Hingga 'Disunat' MA
Sebelum bebas bersyarat, hukuman Setya Novanto memang telah dipangkas oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusan Peninjauan Kembali (PK). Vonisnya berkurang dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan penjara.
Baca Juga: Mahfud MD Bongkar Aib! Kasus Korupsi Riza Chalid dan Setya Novanto Sengaja Ditutup?
“Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 (enam) bulan,” demikian bunyi putusan MA Nomor 32 PK/Pid.Sus/2020 yang dikutip dari laman resmi MA, Rabu (2/7/2025).
Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, menjelaskan bahwa berbagai faktor menjadi pertimbangan pembebasan bersyarat ini, termasuk remisi dan pembayaran denda.
“Berdasarkan hasil asesmen dari tim dan penghitungan menjalani masa hukuman dipotong remisi-remisi yang diterima selama di Lapas, adanya putusan PK yang memutuskan pengurangan masa hukuman, termasuk yang bersangkutan telah membayar denda subsider,” terang Agus.
Awalnya, pada 24 April 2018, Setnov divonis 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan kewajiban membayar uang pengganti 7,3 juta dollar AS atas perannya dalam mega korupsi proyek e-KTP.
Kilas Balik Drama Ikonik: Mangkir Pemeriksaan Hingga Tabrak Tiang Listrik
Nama Setya Novanto sejak awal menjadi pusat pusaran korupsi e-KTP yang merugikan negara triliunan rupiah. Dalam dakwaan jaksa, ia disebut berperan mengatur anggaran proyek senilai Rp 5,9 triliun.
Perjalanannya menuju kursi pesakitan diwarnai drama yang menyita perhatian publik. Sebagai Ketua DPR saat itu, ia berulang kali mangkir dari panggilan KPK dengan berbagai alasan, mulai dari sakit hingga meminta penundaan penyidikan.
Puncaknya terjadi pada 15 November 2017, ketika KPK berusaha menjemput paksa Setnov di kediamannya. Ia menghilang, dan keesokan harinya muncul kabar mengejutkan: Setya Novanto mengalami kecelakaan mobil yang menabrak tiang listrik.
Namun, belakangan terungkap bahwa insiden 'tiang listrik' itu hanyalah rekayasa yang dirancang oleh pengacaranya saat itu, Fredrich Yunadi, untuk menghindari jerat hukum KPK. Drama berlanjut di ruang sidang, di mana pada sidang perdananya, Setnov sempat membisu dan berpura-pura sakit, meski tim dokter menyatakan ia sehat.
Kontroversi di Balik Jeruji: Sel Mewah dan Dugaan Sel Palsu
Kontroversi tak berhenti meski Setnov telah mendekam di Lapas Sukamiskin. Pada September 2018, inspeksi mendadak oleh Ombudsman RI menemukan sel yang dihuni Setnov jauh lebih besar dan mewah dibandingkan sel narapidana lainnya.
"Menurut pengamatan kami masih ada potensi maladministrasi terutama di Lapas Sukamiskin ada diskriminasi dalam kamar hunian," kata anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu ketika itu.
Tak hanya itu, dalam sidak lain yang ditayangkan program Mata Najwa, muncul dugaan Setnov menempati 'sel palsu'. Jurnalis Najwa Shihab menyoroti kejanggalan barang-barang pribadi di dalam sel yang tidak mencerminkan profil seorang Setya Novanto. Dugaan ini kemudian dikonfirmasi oleh Menkumham Yasonna Laoly, yang mengakui bahwa sel tersebut bukanlah sel asli yang ditempati Setnov.