Pajak PBB Bone Melonjak Picu Demo! Gubernur Sulsel Turun Tangan

Muhammad Yunus Suara.Com
Minggu, 17 Agustus 2025 | 16:31 WIB
Pajak PBB Bone Melonjak Picu Demo! Gubernur Sulsel Turun Tangan
Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman menyebut kenaikan PBB di Kabupaten Bone karena hasil temuan BPK [Suara.com/Lorensia Clara]

Suara.com - Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman akhirnya angkat bicara.

Terkait polemik kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan atau PBB-P2 yang memicu gelombang protes warga di Kabupaten Bone.

Kenaikan pajak tersebut membuat warga dan pemuda di Kabupaten Bone membuka posko donasi untuk menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran.

Andi Sudirman meminta masyarakat untuk tetap tenang. Ia menyebut, pihaknya sedang berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mencari jalan keluar atas persoalan tersebut.

Kata Sudirman, kenaikan yang dikeluhkan warga bukan terjadi tanpa alasan. Melainkan dipicu temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait ketidaksesuaian objek pajak di lapangan.

"Selama ini ada tanah yang dipajaki sebagai tanah, padahal di atasnya sudah berdiri rumah mewah," katanya selepas upacara Hari Ulang Tahun RI ke 80, Minggu, 17 Agustus 2025.

Bahkan, kata Sudirman, ada warga yang punya empat sampai lima rumah. Tapi karena surat tanahnya hanya satu, PBB yang dibayarkan pun hanya tanah. Padahal bangunannya besar dan mewah.

Andi Sudirman menegaskan, persoalan ini pada dasarnya menjadi ranah pemerintah kabupaten.

Namun, Pemprov Sulsel tetap akan mengawal dan mengoordinasikan kembali dengan pemerintah pusat agar kebijakan yang diambil tidak semakin membebani masyarakat.

Baca Juga: Daftar 5 Daerah Naikkan PBB, Pati Ternyata Paling Rendah

"Ini memang dilema. Selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, masyarakat hanya membayar PBB tanah. Sekarang, ketika ada temuan, otomatis ada penyesuaian. Tapi kita akan mengkaji lagi dan berkoordinasi, menunggu arahan pusat," jelasnya.

Terkait rencana aksi unjuk rasa, Andi Sudirman menilai kritik dan protes publik merupakan hal wajar dalam iklim demokrasi.

Ia bahkan menyebut setiap kebijakan hampir selalu mendapat respons berupa demonstrasi.

Tak hanya kenaikan PBB. Sebelumnya aksi besar-besaran juga terjadi karena masyarakat protes terhadap makan bergizi gratis dan tarif ojek online.

"Kalau demo mah, semua kebijakan pasti didemo. Kemarin soal makan bergizi gratis didemo, soal pajak juga, bahkan soal ojol (ojek online) pun sama. Tapi itu justru bagus, jadi ada respons yang membuat pemerintah bisa mereview kembali kebijakan," bebernya.

Sebelumnya, sejumlah warga di Kabupaten Bone mulai menyuarakan penolakan atas kenaikan PBB-P2.

Mereka mendirikan posko donasi dan penggalangan dana untuk mempersiapkan aksi protes besar-besaran.

Isu ini bergulir setelah beredar kabar bahwa PBB-P2 di Bone melonjak hingga 300 persen.

Namun, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Bone, Muh Angkasa, membantah kabar tersebut.

Ia menegaskan tidak ada kenaikan tarif pajak, melainkan hanya penyesuaian Zona Nilai Tanah (ZNT) berdasarkan data terbaru dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

"Tidak ada kenaikan sampai 300 persen, bahkan 200 persen pun tidak. Ini murni penyesuaian ZNT dari BPN, bukan tarif pajak yang naik," kata Angkasa, baru-baru ini.

Angkasa menjelaskan, ZNT di Bone sudah lebih dari 14 tahun tidak diperbarui. Akibatnya, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di sejumlah wilayah masih sangat rendah, bahkan ada yang hanya Rp7 ribu per meter.

Padahal, NJOP sangat tergantung lokasi, zonasi, kondisi lingkungan, hingga aksesibilitas.

"Jadi wajar kalau ada penyesuaian karena harga tanah dan bangunan sudah jauh berkembang," ujarnya.

Kenaikan PBB-P2 bukan hanya memicu gejolak di Bone. Beberapa daerah lain juga mengalami fenomena serupa.

Di Kabupaten Jeneponto, misalnya, warga mengaku kaget setelah tagihan pajaknya melonjak drastis.

Anggota DPRD Jeneponto, H Aripuddin menuturkan tagihan PBB-P2 miliknya naik dari Rp300 ribu menjadi Rp1,5 juta.

Objek pajak itu berupa tanah dan bangunan berukuran 5x20 meter di Jalan Pahlawan, Kecamatan Binamu, yang disewakan kepada pihak lain.

"Tahun lalu cuma Rp300 ribu, sekarang Rp1,5 juta lebih. Lonjakan lima kali lipat ini tidak masuk akal," kata Aripuddin.

Kondisi serupa juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu kasus besar sebelumnya mencuat di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Ketika ribuan warga menolak kenaikan NJOP yang dijadikan dasar penetapan PBB.

Sejumlah pihak menilai kenaikan PBB-P2 ini tidak terlepas dari kebijakan efisiensi pemerintah pusat yang memangkas dana transfer ke daerah (TKD).

Akibatnya, pemerintah daerah mencari sumber pendapatan alternatif, salah satunya dari PBB-P2.

Namun, ada pula pemerintah daerah yang beralasan kenaikan PBB merupakan hal lumrah karena sudah lebih dari satu dekade tidak melakukan penyesuaian NJOP.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI