Materi yang dipelajari mencakup spektrum yang luas, dari sejarah, strategi militer, hingga hubungan internasional. "Kalau saya ambilnya yang lebih ke hubungan internasional," jelas Gustika mengenai fokus studinya.
Ia juga mendobrak stereotip bahwa studi perang adalah domain kaum pria. Baginya, dampak konflik tidak mengenal gender.
"Jadi tak ada gender, (studi perang) tak harus identik dengan laki-laki," katanya, menegaskan bahwa perempuan dan anak-anak adalah korban yang seringkali paling rentan dalam sebuah perang, sehingga perspektif mereka mutlak diperlukan.
Fokus pada Isu Strategis dan Perlindungan Budaya
Minat akademis Gustika sangat spesifik dan relevan dengan kondisi global saat ini. Ia memiliki ketertarikan mendalam pada isu-isu perlindungan warisan budaya di tengah konflik bersenjata, peran perempuan dalam aksi militer, serta berbagai isu strategis di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik.
Latar belakang ini memberinya lensa analitis yang tajam untuk melihat persoalan kepemimpinan dan rekam jejak hak asasi manusia di negaranya sendiri.
Setelah menyelesaikan studinya, Gustika tidak berdiam diri di menara gading. Ia memilih jalur aktivisme intelektual dengan bergabung sebagai peneliti di Imparsial, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada pengawasan dan penelitian isu-isu hak asasi manusia di Indonesia.
Pilihan kariernya ini menjadi jembatan yang menghubungkan pengetahuan akademisnya tentang konflik dan keamanan dengan advokasi nyata untuk penegakan HAM di Tanah Air.
Dengan demikian, kritiknya di hari kemerdekaan bukanlah sekadar ungkapan emosional, melainkan sebuah pernyataan sikap dari seorang pengkaji perang yang mendedikasikan ilmunya untuk memperjuangkan keadilan.
Baca Juga: Said Didu Sebut Pemakzulan Gibran Tidak Bermasalah Tapi Tak Ada Penggantinya