Sosok Gustika Hatta: Pengkaji Perang Lulusan London yang 'Serang' Prabowo-Gibran di Istana

Wakos Reza Gautama Suara.Com
Selasa, 19 Agustus 2025 | 15:23 WIB
Sosok Gustika Hatta: Pengkaji Perang Lulusan London yang 'Serang' Prabowo-Gibran di Istana
Sosok Gustika Hatta yang mendalami ilmu perang di London. [Instagram Gustika Jusuf]

Suara.com - Di tengah khidmatnya upacara kenegaraan HUT Ke-80 RI di Istana Negara, sebuah suara kritis yang tajam datang dari sosok yang tak terduga: Gustika Fardani Jusuf Hatta, cucu dari Proklamator Mohammad Hatta.

Melalui akun Instagram pribadinya, Gustika melancarkan protes keras terhadap pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, mengubah perayaan kemerdekaan menjadi panggung kritik yang mengguncang dunia maya.

Namun, di balik keberaniannya, Gustika Hatta bukanlah sekadar cucu proklamator. Ia adalah seorang intelektual muda dengan latar belakang pendidikan yang unik dan sangat relevan dengan isu yang ia suarakan: Kajian Perang (War Studies).

Lulusan King's College London ini membuktikan bahwa kritiknya bukanlah celetukan kosong, melainkan buah dari pemahaman mendalam tentang konflik, kekuasaan, dan hak asasi manusia.

Protes Diam Penuh Makna di Balik Kebaya Hitam

Kehadiran Gustika di Istana Negara pada Minggu, 17 Agustus 2025, sarat dengan simbolisme. Ia memilih mengenakan kebaya hitam yang dipadukan dengan batik motif slobog.

Ini sebuah motif yang dalam tradisi Jawa sering digunakan dalam upacara pemakaman sebagai simbol duka cita dan harapan agar arwah diberi kelancaran. Pilihan busananya seolah menjadi representasi visual dari keprihatinan yang ia sampaikan.

Dalam keterangan unggahannya, Gustika secara lugas menyatakan perasaannya.

"Di hari kemerdekaan tahun ini, rasa syukurku bercampur dengan keprihatinan atas luka HAM yang belum tertutup," tulisnya.

Baca Juga: Said Didu Sebut Pemakzulan Gibran Tidak Bermasalah Tapi Tak Ada Penggantinya

Pernyataan ini menjadi pengantar untuk kalimat yang lebih menohok, yang ditujukan langsung kepada pucuk pimpinan negara.

"Bahkan kini kita dipimpin oleh seorang Presiden penculik dan penjahat HAM, dengan Wakil anak haram konstitusi," tegasnya.

Ahli Kajian Perang yang Tak Pandang Gender

Kritik pedas Gustika terhadap isu HAM bukanlah tanpa dasar. Gadis kelahiran 19 Januari 1994 ini merupakan lulusan dari jurusan bergengsi, War Studies atau Kajian Perang, di King's College London, Inggris.

Ini adalah sebuah disiplin ilmu yang tidak hanya mempelajari strategi militer, tetapi juga mengupas kompleksitas konflik dan politik internasional secara menyeluruh.

Seperti dilansir dari laman Departemen Kajian Perang King's College, bidang ini bertujuan untuk "memahami kompleksitas perang, konflik, dan politik internasional secara keseluruhan."

Materi yang dipelajari mencakup spektrum yang luas, dari sejarah, strategi militer, hingga hubungan internasional. "Kalau saya ambilnya yang lebih ke hubungan internasional," jelas Gustika mengenai fokus studinya.

Ia juga mendobrak stereotip bahwa studi perang adalah domain kaum pria. Baginya, dampak konflik tidak mengenal gender.

"Jadi tak ada gender, (studi perang) tak harus identik dengan laki-laki," katanya, menegaskan bahwa perempuan dan anak-anak adalah korban yang seringkali paling rentan dalam sebuah perang, sehingga perspektif mereka mutlak diperlukan.

Fokus pada Isu Strategis dan Perlindungan Budaya

Minat akademis Gustika sangat spesifik dan relevan dengan kondisi global saat ini. Ia memiliki ketertarikan mendalam pada isu-isu perlindungan warisan budaya di tengah konflik bersenjata, peran perempuan dalam aksi militer, serta berbagai isu strategis di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik.

Latar belakang ini memberinya lensa analitis yang tajam untuk melihat persoalan kepemimpinan dan rekam jejak hak asasi manusia di negaranya sendiri.

Setelah menyelesaikan studinya, Gustika tidak berdiam diri di menara gading. Ia memilih jalur aktivisme intelektual dengan bergabung sebagai peneliti di Imparsial, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada pengawasan dan penelitian isu-isu hak asasi manusia di Indonesia.

Pilihan kariernya ini menjadi jembatan yang menghubungkan pengetahuan akademisnya tentang konflik dan keamanan dengan advokasi nyata untuk penegakan HAM di Tanah Air.

Dengan demikian, kritiknya di hari kemerdekaan bukanlah sekadar ungkapan emosional, melainkan sebuah pernyataan sikap dari seorang pengkaji perang yang mendedikasikan ilmunya untuk memperjuangkan keadilan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI