Suara.com - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman melontarkan kritik terhadap pembebasan bersyarat yang diterima oleh terpidana korupsi e-KTP, Setya Novanto.
Adapun Setya Novanto mendapatkan pembebasan bersyarat, setelah Mahkamah Agung atau MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali atau PK terhadap kasus yang menjeratnya.
Ia menilai kebijakan tersebut justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Ya ini Setya Novanto bebas bersyarat ya dari sisi aturan barang kali sudah sesuai dengan peraturan, tapi justru kami mempersoalkan peraturannya begitu ya," kata Zaenur saat dikonfirmasi, Selasa (19/8/2025).
Zaenur mengingatkan, pada masa berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012, ada sederet syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor sangat ketat.
Misalnya saja seorang narapidana korupsi baru bisa mendapat keringanan hukuman bila menjadi justice collaborator hingga telah mengembalikan kerugian keuangan negara.
Menurutnya, pemberian pembebasan bersyarat terhadap Setya Novanto menunjukkan betapa singkatnya hukuman badan yang benar-benar dijalani oleh terpidana korupsi di dalam lapas.
"Ya ini dengan PB Setya Novanto ini menunjukkan yang dijalani oleh terpidana korupsi itu sangat sebentar di dalam lembaga permasyarakatan. Sisanya menjadi mitra permasyarakatan, di luar lembaga permasyarakatan," ucapnya.
Menurut Zaenur, kondisi ini berimplikasi serius terhadap hilangnya efek jera.
Baca Juga: Alasan UGM Batalkan Peluncuran Buku Jokowi's White Paper, Ternyata Ini Isinya
Ia menilai rendahnya pidana badan maupun perampasan aset membuat pemberantasan korupsi berjalan tumpul.
"Tentu dampaknya ya rendahnya deterrent effect [efek jera], pidana badannya rendah, perampasan aset hasil kejahatan juga rendah," tegasnya.
"Sehingga apa yang mau diharapkan dari penjeraan pidana di Indonesia terhadap pelaku tindak pidana korupsi," imbuhnya.
Lebih jauh, ia menilai mekanisme pemberian remisi maupun pembebasan bersyarat seharusnya tidak sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah.
"Ke depan harus ada perubahan tentang bagaimana kewenangan memberikan remisi dan kebebasan bersyarat," ujarnya.
Keberadaan remisi maupun pembebasan bersyarat memang tidak perlu dihapus.
Melainkan harus diatur dalam kerangka kewenangan hakim.
"Ini kan kemudian putusan hakim itu terdistorsi oleh adanya pemberian remisi maupun pembebasan bersyarat, bukan berarti kami menolak itu semua. Kami setuju adanya instrumen-instrumen itu, tetapi harusnya itu menjadi putusan hakim, bukan menjadi kewenangan dari pemerintah," terangnya.
Kasus Belum Tuntas, KPK Utang
Dalam kesempatan ini, Zaenur turut mengingatkan bahwa kasus korupsi e-KTP yang menyeret nama Setya Novanto hingga kini belum sepenuhnya tuntas.
Ia bilang masih banyak pihak yang seharusnya diproses hukum, namun justru hingga kini tidak tersentuh.
"Kasus e-KTP itu tidak tuntas ya sampai sekarang. Masih banyak pelaku yang belum diproses oleh KPK, itu menjadi utang bagi KPK, sampai kapan pun KPK harus selesaikan kasus itu," ujarnya.
Menurutnya, sejumlah nama besar masih beredar dalam dakwaan maupun disebut dalam persidangan. Namun hingga kini, mereka belum juga dimintai pertanggungjawaban hukum.
"Siapa aja mereka? Ya banyak lah kelompoknya Paulus Tanos dan lain-lain, terus kemudian di dalam dakwaan juga masih ada banyak anggota DPR yang disebut dan seterusnya. Itu seharusnya diselesaikan oleh KPK," ujar dia.